1. Ground Stance — Saat Percaya Diri Dimulai dari Kaki
Banyak orang yang berpikir bahwa rasa percaya diri seseorang itu bisa muncul dari kata-kata yang diungkapkannya, ataupun dengan bagaimana cara seseorang tersebut berbicara.
Padahal, sinyal pertama kali yang akan ditangkap oleh audiens di saat kita sedang melakukan public speaking itu adalah cara kita berdiri di depan mereka.
Tubuh yang terlihat goyah atau terlihat sedang gemetar, kaki yang terlihat rapat, dan tangan yang mencari-cari tempat untuk bersembunyi, bisa langsung memberikan kesan buruk karena kita akan terlihat tidak siap—bahkan di saat kita sama sekali belum mulai membuka suara.
Dan di sini, penulis ingin mengenalkan kepada kalian mengenai grounded stance, yaitu posisi berdiri yang akan membuat tubuh terlihat lebih stabil dan terkontrol saat berada di depan audiens.
Caranya pun sederhana kok! Cukup buka kaki selebar bahu dengan badan yang dibuat tegap, dan kedua tangan yang harus rileks di sisi tubuh. Karena dengan begini, saat posisi tubuh kita sudah terasa nyaman menapak di tanah, maka otak kita pun akan ikut merasa lebih tenang.
Mungkin ibaratnya tuh jadi ada efek psikologisnya, di mana ketika postur tubuh sudah stabil, pikiran pun ikut merasa lebih terkendali sehingga tidak menyebabkan blank di tengah jalan.
Selain itu, posisi ini juga dapat membantu kita dalam mengatasi ras apanik yang sering muncul di menit-menit awal saat public speaking, loh.
Kebanyakan orang akan merasa gerogi karena tubuhnya terasa goyang dan gemetar. Tapi, setelah berhasil mengatur stance dengan benar, kita pasti akan merasa jadi ada pndasi kuat yang menopang tubuh, dan itu sudah cukup membuat bukti kepada audiens supaya mereka menangkap sinyal bahwa kita sudah mempersiapkannya dengan baik.
Intinya, grounded stance tuh bukan tentang pura-pura percaya diri, tapi ini justru soal memberikan ruang dan kesempatan bagi tubuh agar bisa mendukung secara totalitas. Karena terkadang, rasa percaya diri itu tidak datang dari pikiran, melainkan dari cara kita berdiri.
2. Slow, Controlled Hand Gestures — Saat Tangan Ikut Bicara dengan Tenang
Saat lagi merasakan gerogi, bagian tubuh yang paling berkhianat biasanya bukan mulut, tapi justru malah tangan. Mereka bisa bergerak tanpa sadar entah mulai dari mainin kancing baju, kretekin jari-jari sampai bunyi, ataupun bahkan saling menggenggam erat di depan tubuh.
Padahal, mesekipun kelihatannya cuma sepele, namun gerakan-gerakan kecil tersebut sebenarnya terbaca dengan sangat jelas oleh mata audiens, dan memberikan kesan kalau kita tidak mempersiapkan diri dengan baik saat public speaking.
Maka dari itu, di sini lah peran gestur tangan yang pelan dan terarah bisa jadi kunci. Bukan berarti harus terlihat dramatis atau lebay, kok. Bisa juga dilakukan secara sederhana, yang penting pelan dan terbuka saja supaya kita terlihat jauh lebih tenang dan terkendali.
Biasanya, otak manusia itu membaca bahasa tubuh lebih cepat ketimbang kata-kata yang keluar saat sedang public speaking. Jadi, saat gerakan tubuhmu sudah terlihat adem, audiens akan secara otomatis tampak lebih nyaman dan bisa percaya sama kita.
Beberapa tips yang bisa kita lakukan, seperti:
- Hindari gerakan yang cepat atau terasa sedang gelisah.
- Buka telapak tangan sesekali untuk memberikan kesan jujur dan terbuka pada audiens.
- Ini yang paling penting, gunakan gestur tubuh itu hanya di saat ingin menekankan poin tertentu, tidak harus digunakan tiap detik atau tiap berbicara.
Bayangkan saja kalau tangan kita itu seperti penanda yang bisa membantu audiens dalam mengikuti alur pembicaraan kita.
Nggak perlu kok harus jadi orang yang ekspresif, kita hanya perlu terlihat memiliki ritme yang teratur, bukannya malah terburu-buru.
Karena pada akhirnya, orang itu bukan cuma mendengarkan isi kalimat yang kita keluarkan, tapi mereka juga membaca rasa tenang dari cara kita bergerak saat sedang menyampaikan omongan.
Dan percayalah guys, terkadang gestur yang pelan itu justru bisa menunjukkan keberanian.
3. Open Palms = Sinyal “Aku Siap & Bisa Dipercaya”
Tangan itu seperti “bahasa rahasia” yang sering berbicara lebih dulu sebelum kata-kata sempat keluar dari mulut.
Saat presentasi atau sedang public speaking, posisi tangan kita bisa menentukan apakah audiens merasa nyaman mendengarkan pembicaraan kita, atau justru merasa kalau kita sedang menutup diri.
Tanpa sadar, banyak orang yang ketika melakukan pembicaraan di depan umum ustru memilih untuk memasukkan tangan ke kantong, menyilangkannya, atau menaruhnya di belakang tubuh dengan posisi seperti sedang beristirahat.
Padahal, gestur-gestur kescil tersebut dapat memberikan kesan defensif — seperti ada hal yang ingin disembunyikan atau belum siap berbicara. Dan audiens sendiri, biasanya juga akan percaya lebih dulu pada bahasa tubuh, sebelum mereka berfokus pada isi ucapan kita.
Karena itu lah, open palms atau disebut dengan telapak tangan yang terbuka, bisa jadi trik sederhana yang sering dipakai public speaker profesional.
Saat tangan kita terlihat dan bergerak terbuka, audiens akan merasa kalau kita itu jujur, berbicara apa adanya, dan tidak sedang menyembunyikan apa pun. Kita juga akan terlihat approachable dan siap berkomunikasi, karena kita memiliki sikap tubuh yang memancarkan kesan percaya diri — bahkan meskipun sebenarnya lagi deg-degan.
Gerakan yang harus kita tunjukkan pun tidak perlu kelihatan dramatis, kok. Cukup biarkan tangan berada di sisi tubuh secara natural, atau gunakan gerakan kecil untuk menekankan poin-poin penting dalam pembicaraan.
Tujuannya bukan supaya kita bisa terlihat hebat, tapi untuk memberikan sinyal kalau kita itu terbuka, kita hadir, dan siap untuk berbicara dengan audiens yang ada.
Terkadang, sebuah bahasa tubuh yang kelihatannya sederhana saja bisa membuat audiens merasa aman untuk mendengarkan. Dan percayalah, ketika rasa aman tersebut muncul, maka kepercayaan dari audiens pun akan mengikuti.
4. Eye Contact 70/30 — Fokus Tanpa Bikin Orang Risih
Ada suatu fakta unik, di mana kontak mata adalah senjata kuat dalam public speaking, tapi juga bisa menjadi bumerang kalau dipakainya secara berlebihan.
Banyak orang berpikir bahwa kita tuh harus menatap mata audiens terus-menerus agar terlihat percaya diri. Padahal nyatanya, kalau kita menatap audiens terlalu intens, mereka justru bisa merasa nggak nyaman, karena seolah-olah sedang “disidang”, dan bukan diajak bicara.
Karena itu, ada aturan sederhana yang sering digunakan para public speaker, yaitu menggunakan rule 70/30, di mana dengan penjelasan sebagai berikut:
- 70% waktu → tatap audiens / kamera untuk menunjukkan fokus & keterlibatan.
- 30% waktu → alihkan pandangan ke seluruh ruangan sebentar agar tetap terasa natural.
Dengan pola ini, kontak mata akan tetap terasa hangat, tapi tidak mengintimidasi.
Kita justru bisa memberikan ruang bagi audiens untuk bernapas, dan membuat mereka mendapatkan kesan baik bahwa kita itu selalu berpikir sebelum berbicara sesuatu, dan bukan sekadar menghafal lalu diucapkan secara lisan.
Selain itu, mengalihkan pandangan sejenak—misalnya kayak dengan melihat slide, ke arah samping, atau sedikit ke bawah dan mendongak, juga bisa membantu menjaga ritme kita dalam berbicara supaya tidak terkesan sedang buru-buru.
Kita jadi punya kesempatan kecil untuk reset otak mengenai hal selanjutnya apa yang akan dibicarakan, menarik napas, lalu kembali fokus dengan tatapan yang lebih tenang.
Intinya adalah ingat bahwa kontak mata itu bukan soal menatap sekuat mungkin, tapi justru membangun koneksi, di mana ketika audiens merasa dilibatkan, mereka akan mendengarkan bukan karena terpaksa, tapi karena merasa dihargai.
5. Smile–Pause Reset: Cara Cepat Netralkan Grogi
Kadang yang bikin kita kelihatan gugup bukan malah isi materi meskipun rasanya njelimet, tapi justru ekspresi wajah dan ritme bicara yang terburu-buru dan harus disesuaikan supaya audiens tidak menganggap kita lagi gugup.
Di momen-momen seperti itu lah teknik Smile–Pause Reset bisa jadi penyelamat paling sederhana tapi efektif.
Caranya mudah kok, tinggal lakuin aja tiga langkah seperti: tarik napas sebentar, beri senyum kecil – bukan harus yang lebay, cukup senyum halus seperti bilang “oke, aku siap” – lalu mulai bicara setelah jeda antara satu atau dua detik.
Kenapa kita harus memberikan jeda sebelum mulai berbicara? Karena, dengan jeda waktu yang meskipun singkat ini, dapat memberikan waktu bagi otak untuk menenangkan sinyal stres, menurunkan ritme detak jantung, dan membuat suara yang keluar terdengar lebih stabil.
Sebenarnya, teknik ini tuh semacam tombol reset kecil buat sistem saraf kita, di mana sebelum panik sempat mengambil alih, kita harus bisa menyisipkan momen untuk bersikap tenang supaya pikiran tetap jernih dan tidak blank di tengah-tengah pembicaraan.
Menariknya, banyak pembicara profesional menggunakan trik ini di tengah presentasi, terutama saat tiba-tiba blank, ditanya mendadak, atau merasa diperhatikan terlalu intens.
Dan audiens sendiri biasanya nggak sadar sama sekali, malah justru menangkap aura percaya diri yang lebih matang. Karena saat senyum dan jeda singkat diberikan sebelum bicara, ekspresi wajah jadi lebih rileks, bahasa tubuh terlihat lebih yakin, dan energi yang dipancarkan terasa lebih positif.
Meskipun kedengerannya cukup simple dan nggak butuh latihan lama, tapi efeknya bisa dua kali lipat bikin kita terlihat lebih percaya diri dalam public speaking.
Writer Notes
Notes
Sebagai seseorang yang juga pernah gemetar saat bicara di depan orang, penulis percaya bahwa public speaking bukan bakat bawaan, tapi kemampuan yang bisa dilatih secara pelan-pelan, satu strategi kecil setiap kali. Tulisan ini dibuat untuk kamu yang mungkin masih ragu, masih takut salah, atau masih merasa “aku bukan tipe orang yang percaya diri”. Semoga tulisan ini membantu kamu mengubah cara pandang: bahwa tubuhmu bisa jadi sekutu, bukan penghambat.