
Umur Udah 20-an, Tapi Kok Hidup Rasanya Masih Gini-Gini Aja, Ya?
Quarter Life Crisis, Kehilangan Arah Hidup, Overthinking di Usia Muda - Pernah nggak sih kamu ngerasa nggak sabar? Nungguin paket sehari telat yang bikin gelisah, loading Zoom meeting lebih dari 10 detik langsung bikin kesel, bahkan nunggu progress karier setahun aja terasa kayak selamanya. Kita hidup di era serba cepat, serba instan—dari makanan, hiburan, sampai informasi. Tapi pertanyaannya: apa hidup bisa beneran dijalani kayak mi instan yang tinggal seduh, tunggu tiga menit, lalu siap disantap? Jawabannya: nggak. Karena ada hal-hal dalam hidup yang memang butuh proses.
- Key Takeaways
- Bingung itu wajar, tandanya kamu lagi tumbuh.
- Nggak semua orang punya timeline yang sama.
- Sukses nggak harus sama buat semua orang.
- Mulai aja dulu, sekecil apa pun langkahnya.
- Prosesmu valid, jangan dibandingin.
Apa Itu Quarter Life Crisis?
Pernah nggak sih, kamu ngerasa hidup kayak tiba-tiba pause di tengah jalan? Rasanya kayak kamu itu nggak lagi gagal, tapi juga belum merasa berhasil. Setiap kali berjalan pun, rasanya kayak masih kosong karena nggak tau mau kemana arah sebenarnnya. Pernah gitu juga?
Kalau iya, itu berarti kamu lagi mengalami fase yang disebut dengan Quarter Life Crisis (QLC), di mana merupakan masa di usia 20–30 tahun ketika seseorang mulai mempertanyakan jati diri dan arah hidupnya seperti karier, hubungan, bahkan makna dari semua yang sedang mereka jalani.
Quarter Life Crisis sendiri bukan sekadar rasa bosan atau kehilangan motivasi sesaat, loh, tapi justru lebih dari itu. Karena, fase ini merupakan fase refleksi besar yang akan muncul saat kamu mulai beralih dari masa remaja menuju kedewasaan.
Masa menuju kedewasaan itu apa, sih? Masa menuju kedewasaan itu adalah masa ketika realita hidup sudah mulai terasa lebih kompleks dan harus berjuang dengan keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik, seperti karier, finansial, dan ekspektasi pribadi yang mulai saling bertabrakan.
Di fase ini, akan banyak orang yang tiba-tiba merasa hidupnya jalan di tempat, padahal dari luar terlihat baik-baik saja. Di tambah dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk seperti:
- “Di umur segini temenku udah pada nikah, tapi kenapa aku baru lulus, ya?”
- “Dia udah punya bisnis sendiri, tapi aku malah stuck masih bingung mau kerja apa.”
- “Kok hidup orang lain keliatannya lebih jelas jalannya, ya? Tapi aku masih gini-gini aja.”
Fenomena ini muncul karena kita mulai sadar kalau hidup nggak akan selalu linear seperti yang dulu dibayangkan. Perasaan ini diakibatkan oleh peralihan dari masa remaja ke dewasa muda — di mana kita dituntut “punya arah hidup” padahal masih dalam proses mencari jati diri.
Dulu, mungkin kebanyakan dari kita punya timeline hidupnya sendiri-sendiri. Contohnya seperti ingin lulus di umur segini, mau kerja terlebih dahulu, menikah, baru kemudian sukses menikmati hidup. Tapi kenyataannya, hidup sering keluar jalur dari apa yang sudah kita buat.
Menurut teori dari Erik Erikson, seorang ahli psikologi perkembangan, masa dewasa muda di sekitar usia 20-an adalah periode krusial untuk menemukan identitas dan arah hidup.
Jadi, kalau proses ini belum diselesaikan dengan baik, maka bisa memunculkan krisis identitas yang salah satu bentuknya adalah Quarter Life Crisis.
Namun, hal yang perlu diingat adalah bahwa Quarter Life Crisis bukan merupakan tanda kelemahan atau kegagalan pada seseorang, tapi justru bisa menjadi sinyal bahwa seorang tersebut sedang tumbuh.
Kalau diibartkan, kita seperti sedang menguji ulang kompas hidup, untuk memastikan lagi apakah arah yang kita tempuh benar-benar sesuai dengan nilai dan tujuan pribadi kita masing-masing.
Fase ini memang bisa terasa berat, tapi juga bisa jadi titik balik. Karena dari kebingungan itu, kamu akan belajar mengenal dirimu lebih dalam mengenai apa yang benar-benar kamu mau, apa yang penting buatmu, dan bagaimana kamu ingin melangkah ke depan.
Kenapa Quarter Life Crisis Bisa Terjadi?
Kalau dipikir-pikir, dulu waktu kecil kita pasti punya bayangan hidup kalau di usia 20-an akan terlihat keren dan terarah. Tapi ketika udah sampai di titik itu, ternyata realitanya sangat jauh berbeda.
Entah yang tiba-tiba aja muncul perasaan aneh seperti cemas, bingung, merasa tertinggal, atau bahkan mempertanyakan arti hidup. Nah, jadi sebenarnya, kenapa sih hal ini bisa terjadi?
Ternyata, penyebab Quarter Life Crisis itu bukan cuma satu, tapi ada banyak faktor yang saling berkaitan, mulai dari tekanan sosial sampai krisis makna pribadi. Yuk, kita bahas satu-satu di sini!
Tekanan Sosial dan Budaya “Kudu Sukses di Usia Muda”
Di zaman sekarang ini, umur 25 dianggap “harus” sudah punya karier mapan, punya tabungan, bahkan rumah dan pasangan. Standar ini muncul bukan karena kewajiban nyata, tapi karena narasi sosial yang dibentuk lingkungan dan media.
Apalagi dengan hadirnya media sosial yang bikin semua jadi terlihat “lebih cepat” dan “lebih sukses”, membuat kita jadi sibuk membandingkan highlight orang lain dengan perjuangan diri sendiri.
Kalimat seperti, “Dia seumuran aku tapi udah punya bisnis sendiri, sedangkan aku masih di sini dengan kehidupan yang kayak gini-gini aja.” adalah tanda bahwa kamu sedang terjebak di jebakan comparison trap.
Padahal apa salahnya? Setiap orang kan punya waktu tempuh dan rute hidupnya masing-masing, tidak bisa disama ratakan semuanya. Tapi, tekanan untuk “nggak ketinggalan” sering bikin kita merasa gagal padahal belum waktunya.
Ekspektasi yang Nggak Realistis
Sejak kecil kita diajarkan untuk punya target besar seperti kuliah di kampus yang bagus, kerja dengan finansial yang mapan, hidup stabil, dan sukses di usia muda. Tapi ketika realitanya nggak sesuai, rasa gagal itu muncul dan terkadang bikin kehilangan arah.
Quarter Life Crisis sering jadi titik benturan antara ekspektasi dan realita. Ketika kita sadar bahwa hidup nggak bisa dikontrol sepenuhnya, tapi di sisi lain kita belum siap menerima ketidakpastian itu.
Transisi Hidup yang Terlalu Cepat
Fase dewasa muda itu kayak roller coaster tanpa petunjuk arah. Misalnya seperti transisi mendadak dari mahasiswa menjadi pekerja kantoran, dari bergantung ke orang lain menjadi apa-apa harus mandiri.
Semua hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sempat membuat kita benar-benar menyesuaikan diri dan sering bikin kaget.
Belum lagi, di fase ini kita mulai sadar bahwa dunia orang dewasa itu nggak sesederhana yang dulu kamu kira—dan hal itu bisa memicu rasa takut gagal atau kehilangan kendali.
Kurangnya Self-Awareness dan Self-Compassion
Kita sering terlalu keras pada diri sendiri. Entah yang selalu merasa tertinggal, merasa nggak cukup, ataupun merasa harus selalu punya jawaban. Padahal, sebagian besar keresahan di usia 20-an datang karena kita lupa untuk mengenal dan menerima diri sendiri.
Quarter Life Crisis bisa jadi lebih berat ketika kita terus mengkritik diri tanpa memberi ruang untuk beristirahat dan memahami perasaan kita sendiri.
Padahal, sebenarnya yang kita butuhkan itu bukan solusi instan, tapi jeda untuk berpikir ulang mengenai apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini.
Singkatnya, Quarter Life Crisis itu bukan datang karena kita lemah, tapi karena kita sedang bertransformasi menjadi lebih baik lagi.
Dari seseorang yang dulunya hidup dengan mengandalkan panduan dari orang lain, menjadi pribadi yang harus menciptakan panduannya sendiri. Dan proses tersebut memang penuh dengan kebingungan, tapi juga pertumbuhan yang maksimal.
Tanda-Tanda Kamu Lagi Mengalami Quarter Life Crisis
Dalam sebuah hidup, terkadang seseorang itu nggak sadar kalau sedang berada di fase Quarter Life Crisis, sampai akhirnya hal-hal yang sebenarnya kecil akan mulai terasa berat.
Contohnya saja dari bangun pagi yang rasanya jadi nggak semangat, kerja atau kuliah cuma terasa sebagai rutinitas, dan setiap pencapaian baru yang malah bikin bertanya, “Harusnya aku senang, tapi kok nggak ngerasa apa-apa, ya?”
Nah, berikut beberapa tanda umum kita sedang mengalami Quarter Life Crisis, seperti:
1. Merasa Kehilangan Arah Hidup
Kita tahu kalau kita sibuk dan tubuh kita sedang lelah, tapi nggak tahu lagi apa tujuan kita sebenarnya. Hari-hari yang terasa seperti autopilot untuk kerja, tidur, bangun, ulang lagi, tapi membuat di dalam hati muncul pertanyaan yang sama, “Ini semua buat apa?”
Sebenarnya, kehilangan arah itu bukan berarti kita malas atau nggak punya mimpi. Karena justru bisa menjadi tanda kita mulai mempertanyakan apakah arah yang kita tempuh sudah benar-benar sesuai dengan nilai dan keinginan kita selama ini.
Fase ini memang sering bikin kita cemas, tapi juga penting karena artinya kita sedang mencari makna hidup yang lebih dalam.
2. Selalu Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Media sosial sering jadi “cermin” yang memantulkan versi terbaik hidup orang lain. Seperti ketika kita mulai ngerasa “tertinggal,” padahal nggak tahu sebenarnya sedang lomba dengan siapa.
Perasaan ini akhirnya bisa pelan-pelan menggerus rasa percaya diri dan bikin kita merasa semua orang lebih hebat, padahal setiap orang punya timeline dan perjuangan hidupnya masing-masing.
3. Meragukan Kemampuan Diri Sendiri (Imposter Syndrome)
Kita mungkin sudah punya sebuah pencapaian besar, tapi tetap merasa “belum cukup”. Sama seperti ketika orang lain sedang memuji, tapi kita malah berpikir, “Ah, mereka cuma nggak tahu aja kalau aku sebenarnya nggak sekompeten itu.”
Rasa ini memang sering muncul di usia 20-an karena kita sedang membangun identitas profesional dan sosial.
Tapi tanpa disadari, kita terus menekan diri, sehingga lupa kalau keberhasilanmu juga sebuah hasil dari kerja keras kita selama ini, bukan hanya kebetulan.
4. Overthinking tentang Masa Depan
Tidur malam rasanya susah karena otak nggak berhenti mikir, “Kalau aku ambil jalur karier di sini, bener buat kehidupanku ke depan nggak, ya?”
Overthinking di fase ini muncul karena dunia terasa terbuka luas, tapi langkah kita belum yakin.
Dan sebenarnya, memiliki banyak pilihan itu biasanya justru bisa bikin kita takut untuk melangkah karena kita jadi takut salah, takut gagal, dan takut kecewa. Padahal, keputusan terbaik itu sering lahir bukan dari kepastian, tapi dari keberanian kita untuk mencoba.
5. Merasa Kosong Walau “Semuanya Baik-Baik Saja”
Ini adalah tanda yang paling halus tapi justru paling dalam dari semua tanda-tanda yang sudah disebutkan di atas.
Yaitu saat dari luar hidup kita mungkin terlihat lancar, seperti saat kita sudah punya pekerjaan tetap, hubungan baik, dan juga rutinitas yang stabil. Tapi di dalam hati, kita merasa hampa.
Kita nggak tahu kenapa, tapi ada ruang kosong di hidup kita yang nggak bisa diisi oleh pencapaian, uang, atau validasi. Rasa ini sering muncul ketika hidup berjalan sesuai “rencana orang lain”, bukan rencana versi diri kita sendiri.
Cara Menghadapi Quarter Life Crisis dengan Lebih Tenang
Quarter Life Crisis memang bukan fase yang mudah. Ada hari di mana kita semangat banget ngerjain sesuatu, tapi besoknya tiba-tiba ngerasa kosong. Ada juga momen di mana kita lagi pengen banget tahu arah hidup kita, tapi semua masih terasa blur.
Tapi kabar baiknya, fase ini tuh bisa dilewati, guys. Mungkin memang nggak ada cara instan, tapi sebenarnya ada kok, langkah-langkah kecil yang bisa bantu kita berdamai dengan diri sendiri dan menemukan ritme hidup yang lebih tenang.
Berikut beberapa cara yang bisa kamu mulai secara pelan-pelan tapi nyata, antara lain:
1. Terima Dulu, Jangan Denial
Langkah pertama untuk keluar dari Quarter Life Crisis itu bukan mencari solusi, tapi menerima bahwa kamu sedang mengalaminya.
Sering kali kita menolak perasaan bingung dan malah memaksakan diri untuk tetap produktif atau kelihatan baik-baik saja. Padahal, menolak perasaan itu justru bikin kita makin stres.
Coba beri ruang untuk perasaan itu hadir, karena begitu kita berhenti menolak, kita mulai bisa melihat apa yang sebenarnya kita rasakan— dan dari situ, kita bisa mulai melangkah.
2. Kurangi Perbandingan Sosial
Di era digital yang serba bisa ini, perbandingan jadi sumber stres paling halus tapi juga yang paling kuat.
Setiap scroll di media sosial pasti bisa memicu rasa kurang pada diri sendiri yang sebenarnya cuma hal-hal wajar.
Padahal, kita kan nggak tahu kisah sebenarnya di balik foto yang mereka unggah, karena semua orang itu punya timeline hidup yang berbeda, dan perjalanan kita sendiri pun nggak harus sama untuk bisa dibilang berhasil.
Coba deh, mulai batasi konsumsi media sosial, atau paling nggak, sadari kapan kita mulai merasa “tidak cukup”. Ganti kebiasaan membandingkan dengan bersyukur dan fokus ke progres kecil yang udah berhasil kita capai di setiap harinya.
3. Mulai dari Hal Kecil, Konsisten Pelan-Pelan
Krisis sering bikin kita pengen “ubah hidup total” dalam semalam. Tapi kenyataannya, perubahan besar berawal dari langkah kecil yang dilakukan secara terus-menerus.
Mulailah dari rutinitas sederhana, seperti:
- Bangun lebih pagi 15 menit.
- Nulis jurnal singkat setiap malam.
- Jalan kaki tanpa HP 10 menit setiap sore.
Konsistensi kecil ini akan membangun rasa kendali, dan perlahan bikin hidupmu terasa lebih stabil.
Ingat, kita nggak harus berlari kencang, tapi cukup jalan aja pelan asalkan bisa terus maju.
Kesimpulan
Quarter Life Crisis bukanlah akhir dari perjalanan kita, tapi justru menjadi awal dari babak baru yang akan membuat kita lebih sadar dan matang.
Usia 20-an pasti memang penuh kebingungan, tapi juga bisa penuh dengan kemungkinan yang akan terjadi. Saat kita mulai berdamai dengan ketidakpastian, kita akan sadar bahwa hidup nggak harus selalu “wow” untuk bisa berarti.
Karena pada akhirnya, setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini, adalah bagian dari proses menjadi versi terbaik dari diri kita nanti.
Paulo Coelho “Sometimes you have to lose yourself to find what truly matters.”

Writer Notes
Notes
Fenomena quarter life crisis menjadi realitas yang banyak dialami generasi muda saat ini. Di usia yang seharusnya penuh semangat dan peluang, justru muncul rasa bingung, cemas, dan tidak yakin dengan arah hidup. Penulis melihat bahwa keresahan ini bukan sekadar tanda ketidakmampuan, melainkan bagian dari proses bertumbuh dan memahami diri lebih dalam. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat quarter life crisis bukan sebagai masa suram, tetapi sebagai fase reflektif yang membantu mengenal prioritas, nilai, dan tujuan hidup secara lebih jujur. Harapannya, artikel ini dapat menjadi ruang aman bagi pembaca untuk menyadari bahwa perasaan “belum cukup” itu wajar, asalkan dihadapi dengan kesadaran, keberanian, dan langkah kecil yang konsisten.