Gaya Komunikasi Gen Z - Pernah nggak ketemu sama orang yang kalau di grup kerja paling banyak omong, tapi ketika diminta untuk presentasi di rapat justru jadi orang yang paling kikuk? Padahal kamu tahu bahwa dia sebenarnya orang yang banyak ide, hanya saja dia nggak bisa menyampaikannya ketika berada di situasi ‘formal’. Kalau kamu punya rekan kerja yang seperti itu atau justru itu adalah kamu, itu artinya kamu nggak sendirian! Hal itu sekarang menjadi fenomena tersendiri, terutama di kalangan Gen Z.
Gen Z tumbuh dalam era digital yang mana komunikasi lebih banyak dilakukan secara daring (dalam jaringan) melalui chat, voice note, hingga emoji. Sehingga ketika mereka dihadapkan dengan dunia kerja hybrid yang menuntut untuk bekerja tak hanya melalui daring, tetapi juga luring (luar jaringan), mereka akan merasa kaku dan canggung. Ini tentu bukan sekadar perbedaan gaya komunikasi, tetapi juga tentang kebiasaan pola komunikasi dan adaptasi generasi.
- Key Takeaways
- Gaya Komunikasi Gen Z
- Gen Z di Dunia Kerja
- Tantangan Dunia Kerja Hybrid
- Komunikasi Digital
- Komunikasi Efektif
Ruang Digital sebagai Zona Nyaman Gen Z
Generasi muda lahir dan tumbuh dalam kondisi semua sudah berbasis digital. Sedari kecil hingga dewasa mereka mengonsumsi konten digital secara mudah. Tak heran jika ruang digital kini menjadi tempat yang nyaman bagi mereka untuk bersosialisasi dan berkomunikasi.
Melalui ruang digital, mereka bisa menyampaikan pesan secara cepat dan singkat, menggunakan berbagai emoji dan stiker sebagai ungkapan emosi mereka, hingga melakukan respon cepat melalui reaksi emoji seperti di WhatsApp atau Telegram. Pada ruang digital itu pula mereka memiliki waktu untuk berpikir sebelum menjawab suatu pesan, pesan yang telah dikirimkan pun masih bisa direvisi, hingga bisa mengabaikan pesan untuk beberapa saat karena adanya fitur tanda read yang bisa dinonaktifkan.
Gaya komunikasi itu kemudian membentuk sebuah pola bagaimana Gen Z berkomunikasi di era digital saat ini, yaitu spontan, cepat, dan fleksibel. Tak jarang Gen Z lebih menyukai komunikasi yang to the point karena mereka menghindari basa-basi. Ini dikarenakan mereka terbiasa dalam ritme komunikasi yang santai, ringan, dan menganggap bahwa semua orang setara. Di ruang digital mereka dapat mengobrol dengan santai oleh siapapun, sekalipun itu mentor di tempat kerja atau bahkan figur publik.
Namun, justru itulah masalah dari fenomena ini. Gaya komunikasi Gen Z yang santai, ringan, dan fleksibel ini justru tak cocok dengan gaya komunikasi di dunia kerja yang terkenal dengan hierarki dan profesionalitasnya. Dari situlah banyak generasi saat ini yang merasa kaku, canggung, bahkan nggak nyambung dengan gaya komunikasi dunia kerja saat ini yang masih banyak dikendalikan oleh generasi sebelumnya.
Culture Shock Gaya Komunikasi Gen Z di Dunia Kerja
Memasuki realita dunia kerja, Gen Z kerap dihadapkan dengan culture shock tentang cara mereka berinteraksi dan komunikasi di dalamnya. Gen Z yang terbiasa mengirim pesan secara singkat dan to the point sering bingung ketika diharuskan mengirim pesan yang memerlukan basa-basi di awal sebagai ‘jembatan’ pembuka komunikasi.
Tak hanya itu, Gen Z juga kerap kesulitan untuk membaca situasi dalam ruang obrolan nyata. Akhirnya sebagian dari mereka menjadi canggung dan kaku sementara sebagian lainnya justru terlalu santai. Ini yang kemudian kerap disalahpahami oleh rekan kerja, terutama mereka yang berasal dari generasi lebih senior seperti generasi milenial atau generasi X.
Generasi senior tumbuh dengan gaya komunikasi yang mementingkan sopan santun dan hierarki. Mereka menilai seseorang dari bagaimana mereka menyapa, berbicara, dan menyampaikan sesuatu di suatu ruang kerja yang formal. Maka tak jarang komunikasi Gen Z yang santai itu sering disalahpahami oleh generasi sebelumnya dengan menganggap sebagai suatu ketidaksopanan.
Dampak Gaya Komunikasi Gen Z di Dunia Kerja
Perbedaan gaya komunikasi di ruang lingkup kerja tak hanya membuat suasana menjadi canggung saja, tetapi juga berpengaruh terhadap performa kerja dan hubungan relasi dengan rekan kerja. Kesalahpahaman yang timbul akibat dari adanya perbedaan gaya komunikasi ini juga bisa berujung pada masalah serius yang melibatkan kepercayaan seseorang. Oleh karenanya gaya komunikasi ini perlu diperhatikan.
Seseorang yang pasif dalam ruang rapat atau forum, bisa dianggap tidak memiliki antusias. Pesan yang dikirimkan terlalu singkat bisa dianggap hal yang tidak sopan. Gaya bicara yang digunakan terlalu santai juga bisa disalhartikan sebagai bentuk kurang respect terhadap rekan kerja. Penolakan pun bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpatuhan seseorang.
Padahal bukan berarti Gen Z tidak peduli atau tidak sopan, mereka hanya tidak terbiasa berada dalam gaya komunikasi formal dan profesional. Masalah inilah yang jarang disadari baik oleh Gen Z itu sendiri ataupun mereka para generasi sebelumnya. Akibatnya hal itu secara tidak disadari mempengaruhi hubungan satu sama lain.
Kenapa Gen Z Merasa Sulit Beradaptasi dengan Hal Itu?
Gen Z seringkali merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan perbedaan gaya komunikasi dalam dunia kerja. Ini bisa disebabkan oleh beberapa hal:
1. Perbedaan Kebiasaan dan Budaya Komunikasi
Dalam dunia kerja isinya tak hanya satu-dua generasi saja, tetapi dari berbagai generasi. Komunikasi yang terjadi di antara lintas generasi tidaklah mudah. Ada perbedaan budaya dan kebiasaan dalam cara berkomunikasi dan berinteraksi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahkan perbedaan sekecil apapun bisa dengan mudah disalahartikan yang bisa berujung menjadi sebuah pertikaian.
Misalnya, Gen Z yang sejatinya adalah digital native tumbuh dengan cara berkomunikasi melalui media sosial yang fokusnya pada kecepatan dan efisiensi pesan. Mereka menyukai komunikasi non-verbal melalui emoji, stiker, hingga GIF, menggunakan bahasa non-formal, dan tidak menyukai basa-basi. Sedangkan generasi sebelumnya tumbuh dengan komunikasi secara tatap muka yang mana lebih banyak melakukan komunikasi verbal, menggunakan bahasa yang santai tetapi tetap formal, dan kerap melakukan basa-basi. Perbedaan itulah yang kemudian menimbulkan ‘gesekan’ dalam komunikasi lintas generasi tersebut.
2. Menjunjung Transparansi dan Autentisitas
Gen Z tumbuh di lingkungan yang transparan. Ruang digital merupakan lingkungan transparan yang mana seseorang mampu menjadi dirinya sendiri dan tampil apa adanya. Tak hanya itu, transparansi dalam ruang digital juga tercermin dari mudahnya akses media digital oleh siapapun sehingga orang bisa dengan mudah meninggalkan beragam komentar di sana. Ini yang kemudian membuat seseorang merasa otentik dan lebih ‘peka’ dengan pandangan orang lain.
Dengan transparansi itu, Gen Z kemudian merasakan ‘gesekan’ di dalam lingkungan kerja yang cenderung melakukan komunikasi secara tidak langsung. Dalam dunia kerja kerap dikenal yang namanya bahasa korporat. Bahasa korporat diartikan sebagai gaya komunikasi yang biasanya digunakan untuk menyamarkan makna sebenarnya atau berfokus terhadap aspek profesionalisme. Gaya komunikasi seperti itu yang dianggap sebagai gaya bahasa bertele-tele. Gen Z yang menyukai transparansi dan autentisitas, menganggap itu membingungkan dan tidak to the point.
3. Perbedaan Pandangan Tentang Hierarki
Ruang digital merupakan lingkungan yang pada dasarnya ‘datar’ yang mana tidak adanya hierarki di dalamnya. Gen Z yang tumbuh di dalamnya kemudian menjadi terbiasa dengan komunikasi tanpa hierarki tersebut. Misalnya, mereka bisa mention langsung senior mereka ataupun meninggalkan komentar di media sosial seorang figur publik bahkan pejabat.
Sedangkan di dunia kerja sifatnya sangatlah hierarkis. Hierarki sangat dijunjung tinggi dalam lingkup kerja tradisional. Cara berkomunikasi antara rekan kerja sebaya, senior, dan atasan memiliki perbedaan yang jelas. Perbedaan ini yang menjadikan Gen Z kerap kesulitan dalam beradaptasi.
Meskipun Gen Z cukup kesulitan dalam beradaptasi dengan gaya komunikasi dalam dunia kerja, bukan berarti mereka tidak bisa melakukannya. Gen Z justru dikenal sebagai generasi yang cukup adaptif. Ini hanyalah perkara gesekan budaya yang memerlukan waktu untuk mereka dapat sepenuhnya beradaptasi. Mereka hanya perlu belajar untuk terbiasa untuk akhirnya bisa menyesuaikan gaya komunikasi profesionalisme.
Langkah Efektif Beradaptasi dengan Gaya Komunikasi yang Berbeda
Berikut beberapa langkah efektif yang bisa dilakukan Gen Z untuk beradaptasi dengan gaya komunikasi di lingkungan profesional tanpa menghilangkan gaya komunikasi mereka:
1. Kenali Ruang dan Situasi
Setiap ruang komunikasi di lingkungan profesional memiliki gaya komunikasi yang berbeda. Di chat kita dapat menggunakan bahasa yang santai tetapi juga perlu tahu batasan. Berbeda di ruang rapat, gunakan bahasa yang formal dan mudah dimengerti oleh audiens untuk meminimalisasi kesalahpahaman. Begitu juga di email, gunakan bahasa yang formal dengan format penulisan yang terstruktur agar terlihat profesional.
2. Biasakan Berbicara Secara Tatap Muka
Mulailah membiasakan diri untuk berbicara secara langsung. Jika kita perlu berdiskusi atau berbicara dengan rekan kerja atau senior, langsung datangi mereka di ruangan kerjanya. Diskusikanlah secara langsung untuk melatih kepercayaan diri kita dalam mengeluarkan pendapat.
3. Tahu Batas Kesopanan
Kita tetap bisa menjadi sosok Gen Z yang santai dengan gaya komunikasi yang ringan, tetapi kita juga perlu tahu batas kesopanan. Kita bisa menggunakan bahasa formal tetapi tetap ringan seperti, “Oke, terima kasih untuk masukannya ya kak. Aku coba untuk revisi sesuai arahan.” Itu terdengar santai tetapi juga masih dalam batas yang sopan.
Itu semua akan menjadi langkah yang efektif apabila kita berkomitmen untuk terus membiasakan diri melakukannya. Pada dasarnya keterampilan komunikasi bukan hanya sekadar berbicara, tetapi juga kemampuan seseorang untuk bisa mendengar, memahami, dan merespons situasi dan kondisi ruang obrolan. Itu adalah sesuatu yang bisa dilakukan dan dipelajari oleh siapapun, dari generasi apapun. Kunci dari semua itu adalah keinginan untuk belajar dan komitmen untuk membiasakannya.
Penutup
Dunia kerja bukan tentang siapa yang paling jago ngomong, tetapi tentang siapa yang mampu menyampaikan gagasan dan ide mereka dengan jelas dan tulus. Gen Z sebenarnya memiliki modal yang cukup besar untuk itu, mereka adalah generasi yang adaptif, peka, kreatif, dan cepat belajar. Mereka hanya perlu sedikit berlatih untuk bisa membaca ruang situasi dan konteks komunikasi agar bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan profesional tersebut. Kepercayaan diri pun perlu ditumbuhkan agar mereka berani untuk bersuara tentang apa ide dan gagasan yang mereka pikirkan.
“Communication works for those who work at it.”
Writer Notes
Notes
Tulisan ini terinspirasi dari perubahan besar dalam cara kita berkomunikasi setelah pandemi. Sebagai generasi yang tumbuh bersama layar, Gen Z kini belajar menemukan suara mereka di dunia nyata, bukan untuk menjadi seperti generasi sebelumnya, tapi untuk berkomunikasi dengan cara yang tetap manusiawi di tengah dunia yang makin digital.