Gen Z dan Gaya Hidup Berbasis Nilai
Gen Z tumbuh di tengah arus informasi yang terus mengalir tanpa batas. Mereka bisa melihat lebih banyak cerita, kritik, dan bukti, tentang bagaimana produk dibuat dan siapa yang diuntungkan dari rantai produksinya.
Karena itu, sering kali keputusan membeli bagi mereka bukan cuma sekadar soal fungsi atau estetika barang saja, melainkan juga soal cerita di baliknya mengenai; apakah produk itu ramah lingkungan, adil untuk pekerjaannya, atau mencerminkan suatu nilai yang mereka pegang.
Istilah mudahnya seperti, mereka bukan cuma membeli barang, tapi juga membeli nilai.
Fenomena ini biasanya disebut dengan conscious consumerism, atau kesadaran bahwa pilihan konsumsi memiliki dampak sosial dan lingkungannya masing-masing.
Dan ini bukan sekadar aktivisme simbiolis, karena untuk banyak Gen Z yang melakukannya, dukungan terhadap brand yang sejalan dengan nilai pribadi adalah cara yang nyata untuk mengekspresikan siapa mereka sebenarnya.
Misalnya nih, mereka akan lebih memilih untuk membeli skincare lokal yang transparan soal bahan dan proses produksinya, karena dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi kreatif lokal sekaligus pilihan etis setiap individu.
Anyway, keberadaan media sosial juga mempercepat kesadaran ini, loh.
Dengan adanya review, investigasi jurnalis, hingga klaim greenwashing yang tersebar cepat, Gen Z jadi lebih mudah dalam mengakses informasi pendukung maupun kritik terhadap sebuah brand.
Akibatnya? Mereka juga jadi lebih kritis, dan lebih cepat menarik dukungan bila menemukan ketidaksesuaian antara klaim yang diberikan oleh suatu brand dengan kenyataannya. Singkatnya, loyalitas tuh kini memang lebih mudah untuk diberikan, tapi juga lebih cepat untuk dicabut jika terjadi sesuatu yang dirasa tidak menguntungkan.
Dari sisi psikologis sendiri, memilih brand yang ‘sevisi’ akan memberikan sensasi konsistensi identitas, yang di mana memakai atau mendukung suatu brand tersebut akan terasa seperti memberikan kepercayaan kita kepada mereka.
Itu akan memperkuat rasa belonging dan self-expression, di mana fungsi sosial yang dulu mungkin dipenuhi oleh komunitas lokal, kini juga dipenuhi oleh pilihan konsumen. Sehingga belanja tidak lagi sesuatu yang netral, tapi juga sebagai medium komunikasi sebuah nilai.
Bukan Cuma Produk, Tapi Representasi Diri
Buat Gen Z, memilih brand tuh bukan cuma soal kebutuhan, tapi juga soal representasi diri. Di era digital seperti sekarang ini, identitas nggak bisa cuma dibentuk dari apa yang kita ucapkan, tapi juga melalui apa yang telah kita pakai, dukung, dan tampilkan ke public.
Karena itu, ketika sebuah brand punya nilai yang sejalan dengan prinsip atau pandangan hidup kita, rasanya tuh mesti kayak ketemu sama temen yang pengertian.
Contoh mudahnya nih, ketika mereka yang bangga dengan produk lokal akan lebih percaya diri untuk memakai skincare buatan Indonesia yang transparan dan berkualitas, dibandingkan dengan memakai skincare dari luar yang gembor-gembor mempromosikan produknya.
Dan semua pilihan itu bukan sekadar konsumsi belaka, tapi juga sebagai pernyataan halus tentang siapa diri mereka.
Ada juga loh sisi emosionalnya, yaitu ketika sebuah brand berhasil menunjukkan kepedulian yang tulus terhadap isu yang dekat dengan hati konsumen, koneksi yang terbentuk akan jadi lebih dalam. Hal itu disebabkan karena biasanya, Gen Z dapat merasakan di mana sebuah brand akan benar-benar care, atau ikut tren semata.
Hal menarik lainnya, personalisasi ini juga bisa dibentuk lewat storytelling. Brand yang bercerita secara jujur dan apa adanya, akan lebih mudah dalam membangun rasa keterikatan dan lebih dipercaya oleh konsumen.
Jadi, kenapa hal-hal tersebut terasa lebih personal? Karena, di balik logo dan produk yang sebuah brand tampilkan, Gen Z juga melihat refleksi diri mereka sendiri, mengenai apa yang mereka percayai, mereka perjuangkan, dan ingin tunjukkan kepada dunia.
“Cancel Culture” dan Standar Moral Baru di Dunia Konsumen
Bagi Gen Z, belanja tuh udah bukan cuma urusan selera atau tren semata, tapi juga urusan nilai dan etika.
Di era keterbukaan informasi, konsumen muda sudah bisa tahu banyak hal di balik layar sebuah brand. Mulai dari bagaimana mereka memperlakukan karyawan, bahan baku apa yang digunakan, sampai kepada sikap mereka terhadap isu sosial yang sedang ramai dibicarakan.
Dan ketika sebuah brand ketahuan melakukan tindakan yang sekiranya tidak etis, jangan heran kalau langsung muncul seruan cancel brand di media sosial dan menjadi viral di semua platform.
Fenomena cancel culture ini muncul sebagai bentuk tanggung jawab moral, di mana Gen Z merasa punya suara dan kekuatan untuk memengaruhi arah perilaku suatu brand.
Mereka biasanya nggak mau mendukung perusahaan/brand yang cuma pura-pura peduli lingkungan (greenwashing), atau yang menampilkan kampanye inklusif tapi nyatanya justru diskriminatif di lingkaran dalam. Dan ini bukan sekadar reaksi impulsive, tapi juga suatu cerminan dari kesadaran sosial yang semakin tinggi.
Yang menariknya lagi, standar moral ini tuh nggak datang dari satu arah aja, loh.
Bukan cuma brand yang harus hati-hati, tapi juga publik yang mulai belajar menyeimbangkan antara kritik dan empati. Banyak anak muda sadar bahwa membangun budaya yang sehat berarti juga memberi ruang bagi perbaikan yang diinginkan, bukan sekadar menjatuhkan.
Jadi, cancel culture bisa menjadi sebuah pengingat bahwa konsumen sekarang nggak cuma membeli produk, tetapi juga prinsip, di mana brand yang gagal memahami hal itu bisa kehilangan kepercayaan dalam sekejap. Tapi, bagi yang mau jujur, terbuka, dan mau berubah, justru bisa membangun hubungan yang lebih kuat dengan audiensnya.
Autentisitas: Mata Uang Baru di Dunia Brand
Di era digital yang serba cepat dan penuh pencitraan, Gen Z tumbuh sebagai generasi yang paling peka terhadap ketulusan, apalagi yang dilakukan oleh sebuah brand.
Mereka sudah terlalu sering melihat kampanye yang terlalu sempurna atau pesan-pesan promosi yang kelihatan dibuat-buat, sampai akhirnya bisa dengan mudah membedakan mana brand yang benar-benar tulus dan mana yang cuma strategi. Di sinilah autentisitas jadi mata uang yang paling berharga.
Autentisitas itu bukan hanya soal tampilan estetik atau slogan keren doang, kok. Tapi juga soal konsistensi antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan.
Misalnya nih, kalau ada sebuah brand yang bilang peduli lingkungan, maka mereka juga harus menunjukkan tindakan nyata, dan bukan lewat postingan semata. Hal tersebut disebabkan karena Gen Z menghargai upaya kecil yang nyata, daripada janji besar yang ternyata kosong.
Faktor lain yang bikin autentisitas penting adalah kebutuhan akan trust atau kepercayaan. Di tengah derasnya arus informasi, rasa percaya tuh jadi sesuatu yang langka.
Ketika sebuah brand mampu menunjukkan transparansi di dalamnya, entah dengan jujur soal proses produksi, membuka ruang diskusi dengan konsumen, atau mengakui kesalahan, justru akan membuat mereka jadi lebih dihormati.
Menariknya lagi, kejujuran yang sederhana sering kali lebih kuat dampaknya daripada strategi marketing yang kelihatan rumit. Karena bagi Gen Z, being real jauh lebih menarik daripada being perfect.
Brand yang berani tampil apa adanya, dengan visi yang jelas dan tindakan yang selaras, bukan hanya akan disukai oleh mereka, tetapi juga diingat sepanjang masa.
Bagaimana Brand Bisa Relevan di Mata Gen Z?
Menarik perhatian Gen Z itu bukan tentang seberapa besar budget iklan yang dihasilkan, tapi seberapa dalam sebuah brand tersebut bisa connect dengan nilai dan realitas hidup mereka.
Bagi mereka, brand yang relevan adalah yang tahu kapan harus bicara, dan kapan harus mendengar konsumennya. Gen z sendiri sangat menghargai kejujuran ketimbang drama-drama promosi yang biasanya ditampilkan sampai viral.
Brand yang berani menunjukkan proses di balik layar, misalnya tentang bagaimana mereka memproduksi barang, memperlakukan karyawan, atau menghadapi kritik public, justru biasanya dianggap lebih manusiawi dan bisa dipercaya.
Selain itu, relevansi juga datang dari transparansi dan keberpihakan yang jelas. Sebagai Gen Z, mereka ingin tahu: nilai apa yang diperjuangkan oleh brand ini? Apakah mereka hanya ikut tren sosial, atau benar-benar punya komitmen?
Contohnya nih, ketika sebuah brand fashion ikut-ikutan kampanye body positivity, Gen Z akan melihat dan menilai apakah langkah itu benar-benar diterapkan dalam pemilihan model, ukuran pakaian, sampai pada pesan yang dikirimkan.
Sedangkan terakhir, adaptabilitas sendiri merupakan kunci. Di mana dunia digital yang berubah dengan sangat cepat, dan Gen Z sudah terbiasa dengan dinamika tersebut.
Brand yang mampu tetap konsisten dengan nilai mereka sambil tetap fleksibel menyesuaikan zaman, di antara para pesaing yang jumlahnya tak terhitung itu jelas akan lebih mudah bertahan dan dicintai oleh konsumen.
Pada akhirnya, relevansi di mata Gen Z bukan tentang menjadi yang paling keren, tapi justru yang paling genuine. Karena bagi generasi ini, keaslian bukan cuma sebuah tren yang harus diikuti, tapi juga sebagai identitas yang harus dimiliki oleh setiap brand.
Writer Notes
Notes
Sebagai penulis, saya melihat fenomena ini bukan sekadar tren belanja, tapi refleksi dari perubahan cara generasi muda memaknai konsumsi. Gen Z tidak lagi membeli karena ingin terlihat keren, tapi karena ingin merasa terhubung dengan nilai yang mereka yakini. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca, baik konsumen maupun pelaku brand, untuk memahami bahwa keaslian bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan bentuk tanggung jawab sosial. Karena di balik setiap pilihan membeli, selalu ada nilai yang diperjuangkan.