admin@dialogika.co +62 851 6299 2597
Public Speaking Anxiety, Anxious VS Avoidant, Rasa Canggung Saat Bicara, Self Growth

Canggung, Cemas, atau Takut Dinilai? Ini Bedanya Anxious & Avoidant Saat Kamu Lagi Public Speaking!

Public Speaking Anxiety, Anxious VS Avoidant - Pernah nggak sih kamu ngerasa jantung berdebar, tangan dingin, atau bahkan lidah rasanya kaku waktu harus ngomong di depan orang? Padahal udah latihan berkali-kali, tapi tetap aja muncul rasa takut salah, takut dinilai, atau malah pengin kabur dari situasi itu. Nah, ternyata perasaan kayak gini nggak selalu soal ‘nggak bisa public speaking’, tapi bisa jadi karena gaya kamu dalam menghadapi kecemasan —anxious atau avoidant. Dua-duanya sama-sama bentuk respon alami tubuh terhadap tekanan sosial, tapi dengan cara yang beda.

  • Key Takeaways
  • Anxious VS Avoidant.
  • Takut Dinilai Itu Manusiawi.
  • Fokus pada Pesan, Bukan Penilaian.
  • Latihan Kecil = Progres Nyata.
  • Berani Bicara, Meski Masih Berdebar.

            
         

Akar dari Rasa Cemas Saat Public Speaking

Banyak orang mikir kalau rasa canggung saat sedang melakukan sesuatu itu berarti mereka nggak berbakat buat tampil.


Padahal, canggung saat ngomong di depan itu hal yang sebenarnya normal banget dan sangat wajar. Hampir semua orang pasti pernah ngerasain canggung, entah saat lagi presentasi di kelas, pitching ide di kantor, atau pun sekadar ngomong di depan teman-teman yang lain.


Bahkan, orang yang sekarang sudah kelihatan sangat percaya diri pun pasti masih bisa merasakan tegang di dalam yang mungkin orang lain tidak ketahui.


Biasanya, rasa canggung akan muncul karena kita terlalu sadar kalau kita sedang dilihat sama orang lain. Otak otomatis mikir kalau kita tidak boleh salah, tidak boleh tampil jelek, dan tidak boleh mengecewakan karena terbayang oleh penilaian yang akan diberikan orang lain.


Nah, pikiran-pikiran kayak gitu lah yang membuat tubuh jadi ikut bereaksi, seperti jantung yang berdebar, tangan jadi terasa dingin, suaranya geter, atau pun malah terkadang pikirannya jadi kosong tidak bisa mikir.


Tapi menariknya, rasa canggung itu sebenarnya bukan berarti tanda kita tidak mampu, loh!


Justru, itu adalah tanda kalau kita peduli sama apa yang ingin kita ungkapkan, dan gimana kita akan diterima oleh yang lain. Artinya, kita hanya ingin memberikan kesan yang baik saat sedang menampilkan sesuatu, dan itu merupakan hal yang sangat amat wajar.


Namun, yang perlu diingat bahwa canggung itu bukan musuh. Ia cuma sebuah alarm dari tubuh yang bilang kalau semua ini penting buat kita.


Jadi, bukan untuk terus-terusan dihindari, tapi untuk bisa dikelola dengan baik supaya nggak sampai menguasai kita sepenuhnya, dan akan berakhir merugikan diri sendiri.

Apa Itu Anxious dan Avoidant Style?

Dua reaksi ini sering banget muncul tnpa kita sadari.


Secara sederhana, anxious style itu tipe yang cenderung terlalu fokus pada penilaian orang lain. Mereka ingin diterima, takut bikin kesalahan, dan akhirnya jadi overthinking.

Biasanya, orang dengan anxious style akan berpikiran seperti ini:


“Kalau aku salah ngomong nanti mereka bakal nge-judge aku nggak, ya?”


Akhirnya, orang tersebut jadi overthinking sebelum bicara, ngomong terbata-bata, atau bahkan lebih parahnya bakalan nyalahin diri sendiri setelahnya.


Sebaliknya, orang dengan avoidant style justru memilih untuk menjauh dari situasi sosial yang bikin cemas. Meskipun sebenarnya orang tersebut tahu kebenarannya dan bisa saja untuk mengungkapkan, namun mereka akan lebih pilih diam karena takut salah bicara atau pun takut terlihat canggung di depan orang lain.

avoidant avoidant +62 851 6299 2597 @dialogika.co            

Dan dalam konteks public speaking sendiri, hal ini bisa muncul dalam bentuk menolak tampil di atas panggung, pura-pura sibuk saat waktunya tanya jawab supaya tidak terpilih, atau ngomong sekenanya yang penting cepat selesai.


Yang paling menarik, dua gaya ini sebenarnya bukan tanda kalau kita lemah. Hanya saja, itu merupakan sebuah cara bagaimana otak kita melindungi diri dari rasa tidak aman atau bahaya yang otak kita rasakan.


Bedanya cuma ada di arah reaksinya, yaitu jika anxious akan mendekat dan ingin terima, sedangkan avoidant justru akan memilih untuk menjauh karena takut ditolak orang lain. Tapi, tetap saja kalau keduanya itu sama-sama berakar dari rasa takut dinilai.

Kenapa Public Speaking Bisa Memicu Dua Reaksi Ini?

Tidak dipungkiri, bahwa public speaking sering kali dianggap sebagai uji mental seseorang, karena di situ kita nggak cuma harus bisa ngomong, tapi juga untuk dilihat, dinilai, dan didengarkan oleh banyak orang sekaligus.


Ada banyak faktor yang bisa bikin kita gugup saat berbicara di depan umum. Mulai dari pengalaman masa lalu yang tidak mengenakkan, perfeksionisme berlebihan, sampai tekanan sosial buat tampil sempurna.


Dan terkadang, rasa takut itu juga datang karena kita lebih sering membandingkan diri dengan orang lain. Seperti contohnya ketika kita melihat orang lain tampil lebih lancar, kita jadi merasa kurang. Padahal, semua orang punya caranya sendiri buat beradaptasi.


Dan di titik ini lah akar kecemasan seseorang biasanya akan muncul.


Bagi orang dengan tipe anxious, situasi ini seperti spotlight besar yang menyinari semua ketidaksempurnaan yang mereka miliki.


Mulai dari mereka takut akan salah ngomong, takut tiba-tiba lupa materi dan blank, atau pun takut ekspresi yang dikeluarkan terlihat aneh. Pokoknya tuh semua hal kecil akan terasa fatal bagi mereka, yang sebenarnya bukan merupakan masalah yang besar.


Akibatnya, otak mereka jadi terus memutar pikiran yang berandai-andai mengenai sesuatu yang belum tentu terjadi, dan berakhir membuat mereka semakin merasakan tegang.


Sementara bagi orang dengan tipe avoidant sendiri, tekanan yang mereka dapat dari eksposur sosial justru membuat mereka ingin menghindar total, karena mereka merasa lebih aman ketika tidak menjadi pusat perhatian.


Jadi, meskipun sebenarnya mereka memiliki kemampuan yang memumpuni untuk ditampilkan, rasa takut ditolak yang lebih besar akan membuat mereka lebih memilih untuk tidak mencoba.


Padahal sebenarnya, dua-duanya tuh punya niat baiknya masing-masing, yaitu sama-sama ingin diterima dan menghindari penolakan dari orang lain.


Namun sayangnya, kalau dibiarkan secara terus-menerus, kedua pola ini bisa membuat kita stuck karena selalu merasa belum siap untuk melangkah ke depan, atau justru akan terus mencari validasi dari orang lain.

Anxious atau Avoidant: Kamu Termasuk yang Mana?

Biar bisa berkembang ke arah yang kebih baik, penting banget buat terlebih dahulu tahu kita itu condong ke tipe yang mana.


Kenapa harus tahu? Karena akar masalahnya dari dua hal tersebut berbeda, begitu juga dengan bagaimana cara mengatasinya nanti.


Waktu dihadapkan dengan situasi tampil di depan umum, orang dengan gaya anxious biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Overthinking bahkan saat sebelum tampil dan mulai ngomong sepatah kata pun.
  2. Sering merasa harus sempurna saat menampilkan sesuatu supaya bisa diterima oleh orang lain.
  3. Terus memikirkan ekspresi audiens, takut mereka bisa saja bosan, nggak suka, atau parahnya lagi akan menilai buruk penampilan mereka.
  4. Saat setelah tampil pun, mereka akan cenderung mengulang-ulang kesalahan di kepala sepeti, “seharusny tad aku ngomong gini…” dan lain sebagainya.


Sedangkan, orang dengan tipe avoidant memiliki tanda-tandanya sendiri seperti:
  1. Lebih memilih untuk menghindar dari kesempatan buat tampil meskipun sebenarnya bisa.
  2. Merasa aman kalau nggak terlalu kelihatan di depan atau menjadi pusat perhatian orang-orang.
  3. Ngerasionalisasi rasa takutnya dengan alasan yang berbeda dengan tipe anxious, yaitu merasa besar kepala namun tidak ingin menunjukkannya. Contoh seperti, “Ah ini mah gampang, tapi temanya bukan bidangku jadi aku nggak mau.”
  4. Setelah dipaksa tampil, mereka biasanya akan langsung menarik diri dari orang-orang dan menghindari evaluasi karena takut hasilnya mengecewakan.


Ingat, keduanya sama-sama merupakan bentuk pertahanan diri, dan ngga ada salahnya sama sekali merasakan hal tersebut. Dua-duanya hanyalah bentuk coping mechanism, atau cara otakmu melindungi diri dari rasa tidak nyaman yang tercipta.


Namun kabar baiknya, keduanya bisa dilatih supaya lebih seimbang, supaya tetap bisa tampil tanpa harus merasa overthinking, dan tetap berani bicara tanpa harus kabur dari spotlight yang mereka dapatkan saat tampil di depan umum.

Gimana Cara Mengatasi Rasa Canggung dan Cemas Itu?

Baik anxious maupun avoidant, sebenarnya keduanya sama-sama muncul karena rasa tidak percaya diri dan takut dinilai yang mereka miliki di dalam otak.


Tapi untungnya, dua-duanya bisa dilatih dengan baik supaya kita bisa lebih tenang dan percaya diri untuk tampil di depan orang lain, loh.


Yuk, kita bahas satu persatu langkah apa saja yang bisa dicoba untuk mengatasinya:

1. Sadari dan kenali dulu pola kamu.

Langkah pertama sudah jelas selalu saja soal awareness.


Coba refleksikan diri kita ini merupakan tipe yang cenderung overthinking sebelum tampil (anxious), atau tipe yang memilih untuk menghindar biar nggak tampil sama sekali (avoidant)? Karena hanya dengan tahu polanya, kita jadi bisa memilih strategi yang pas buat diri sendiri.

2. Ganti fokus dari “diri sendiri” ke “pesan yang mau disampaikan.”

Kebanyakan kecemasan yang kita rasakan itu datang karena kita terlalu fokus ke gimana kita terlihat saat sedang tampil, dan bukan ke pesan apa yang ingin kita bagikan pada orang lain.


Saat kita mulai bisa geser fokus ke isi pesan, rasa cemas pasti akan dengan perlahan berkurang, karena kita bisa jadi lebih hadir buat audiens, bukan buat menilai diri sendiri.

3. Latihan kecil, tapi rutin.

Kita nggak perlu kok langsung berani ngomong di panggung besar.


Mulai aja cobain dari hal kecil seperti, ngomong di depan teman dekat, ikut diskusi kecil-kecilan, atau latihan ngomong sendiri di depan cermin.


Kuncinya itu bukan seberapa besar langkah yang akan kita ambil untuk menjadi lebih baik ke depannya, tapi seberapa konsisten kita bisa melakukannya.

4. Validasi diri sendiri.

Jangan nunggu orang lain bilang kita keren baru kita percaya.


Tapi, coba saat setelah selesai tampil, hargai diri sendiri karena kita udah berani nyoba. Meskipun mungkin menurut kita kecil, apapun progress yang kita lalui tetap pantas diapresiasi.

5. Bangun lingkungan yang aman.

Lingkungan itu punya pengaruh yang sangat besar terhadap keberanian yang muncul dari dalam diri kita.


Contohnya saat kita dikelilingi oleh orang-orang yang suportif dan nggak gampang nge-judge, hal itu akan membuat kita lebih tenang dan terbuka buat latihan.


Dan pada akhirnya, public speaking itu bukan soal seberapa sempurna kita ngomong, tapi seberapa tulus kita bisa nyampaikan pesan kepada audiens yang mendengarkan. Semakin sering kita berani, akan semakin kecil pula rasa canggung dan cemas itu terasa.

    Menawar, negosiasi, murah

    Tanya Aja Dulu

    Susah dan Gugup Ngomong di Depan Umum? Konsul Aja Dulu

    Tanya Admin


    Kesimpulan

    Rasa canggung, gugup, atau takut dinilai saat public speaking itu bukan tanda kita lemah, tapi justru sebagai tanda bahwa kita merupakan manusia biasa.


    Setiap orang punya cara yang berbeda dalam menghadapi tekanan. Entah ada yang overthinking karena takut gagal (anxious), ada juga yang memilih menghindar biar nggak salah langkah (avoidant).


    Keduanya sama-sama lahir dari kebutuhan untuk diterima dan rasa takut ditolak. Tetapi yang penting, bukan seberapa cepat kita bisa menghilangkan rasa cemas itu, tapi bagaimana kita mau belajar berdamai dengannya.


    Dan public speaking sendiri sebenarnya bukan tentang tampil sempurna, melainkan bagaimana kita berani menyampaikan pesan meski masih measa gemetar di awalnya.


    Karena, lambat laun kita akan sadar bahwa keberanian bukan tumbuh bukan dari hilangnya rasa takut, tapi dari kemauan kita untuk tetap melangkah meskipun masih merasa takut.


    “Courage is not the absence of fear, but the triumph over it.”
    Gambar kak Amelia Miftakhus Sa'adah

    Amelia Miftakhus Sa'adah

    Better late than never try

    Writer Notes

    Notes

    Rasa cemas saat berbicara di depan banyak orang adalah pengalaman yang nyaris universal, bahkan bagi mereka yang terlihat percaya diri sekalipun. Penulis melihat bahwa banyak anak muda merasa bersalah karena gugup, padahal yang mereka alami hanyalah pola respon alami terhadap tekanan sosial. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk mengenali pola anxious dan avoidant bukan sebagai kelemahan, melainkan bagian dari proses belajar tampil di ruang publik. Harapannya, artikel ini bisa membantu pembaca memahami bahwa keberanian bukan berarti tanpa rasa takut, tapi tetap melangkah meski rasa takut itu ada.

    Komentar