admin@dialogika.co +62 851 6299 2597
Digital Validation, Validasi Digital, Self-worth Online, Media Sosial, Online Identity, Era Digital

Berapa Banyak Validasi yang Dibutuhkan Biar Kamu Ngerasa Cukup?

Digital Validation, Validasi Digital, Self-worth Online - Pernah nggak sih kamu ngecek notifikasi cuma buat lihat siapa yang nge-like postinganmu, atau siapa yang nggak nonton story-mu hari ini? Kadang bukan karena kalian pengen tahu, tapi karena pengen aja gitu ngerasa dianggap ada. Di era digital, kita nggak cuma hidup di dunia nyata, tapi juga di dunia maya, tempat di mana angka, emoji, dan komentar bisa bikin seseorang merasa bernilai… atau malah sebaliknya. Pertanyaannya: berapa banyak validasi yang harus kita kumpulkan biar akhirnya ngerasa cukup?

  • Key Takeaways
  • Hidup Nyata Tetap yang Paling Berarti.
  • Validasi Itu Manusiawi.
  • Angka Nggak Menentukan Nilai Diri.
  • Tenang Datang Saat Kita Nggak Butuh Dilihat.
  • Eksistensi Bukan Tentang Likes.

         

Kenapa Kita Haus Validasi Digital?

Sebenarnya, manusia itu memang punya kebutuhan alami buat diakui sama orang lain. Kenapa seperti itu? Karena sejak kecil, kita terbiasa tum buh dengan dorongan untuk diterima, baik dari keluarga sendiri, teman, sampai lingkungan di mana kita tumbuh.


Bedanya, kalau dulu kita mendapatkan pengakuan tersebut cukup lewat tatapan mata dan pelukan yang menenangkan, sekarang yang biasa dicari dari pengakuan tersebut yaitu dengan notifikasi yang didapatkan di layar handphone. Contohnya seperti media sosial.


Media sosial menciptakan ruang di mana setiap orang bisa dilihat, didengar, dan diakui. Tapi di sisi lain, ruang itu juga akan membuat kita merasa bersaing tanpa sadar.


Dorongan-dorongan halus yang ada pada otak kita, secara spesifik akan memaksa diri kita untuk terus terlihat, karena takut kalau sehari saja kita menghilang dari dunia maya, kita jadi akan tertinggal dan dilupakan oleh orang lain.


Masalahnya, manusia memang punya kebutuhan alami untuk diterima dan diakui kehadirannya. Setiap likes dan komentar positif yang kita dapat, akan secara otomatis bekerja seperti reward system di otak, dan melepaskan dopamin yang membuat kita merasa senang.


Namun yang perlu diingat, semakin sering kita mendapatkan setiap pengakuan tersebut, akan semakin sulit juga rasanya untuk kita lepas. Rasa ingin diakui itu akan berubah jadi kebiasaan mencari pembuktian.


Akhirnya, hal ini bukan lagi soal “ingin berbagi”, tapi “ingin dilihat”.

Validasi Online vs Rasa Cukup dari Diri Sendiri

Di satu sisi, validasi online memang bisa dijadikan sebuah motivasi untuk diri sendiri. Tapi di sisi lain, terlalu bergantung padanya juga bisa bikin kita lupa caranya merasa cukup tanpa memerlukan pengakuan orang lain yang berlebihan.


Kita sering bilang, “Yang penting aku bahagia dengan diriku sendiri apa adanya.” Tapi kenyataannya, rasa cukup itu biasanya goyah ketika kita membuka media sosial, dan menemukan satu postingan saja milik orang lain yang kelihatannya lebih produktif, lebih cantik, ataupun lebih sukses dari pada kita.


Dan dari sisi itu lah yang akhirnya akan menyebabkan munculnya keraguan terhadap diri sendiri, dan pertanyaan-pertanyaan kecil, “Apakah aku tidak semampu dia dalam hal ini?”


Di dunia online, validasi memang terasa cepat dan serba mudah untuk didapatkan. Cukup unggah sesuatu, tunggu sebentar, lalu boom—akan muncul notifikasi dari berbagai komentar dan likes yang membuat perasaan hangat seketika muncul.


Nah, meskipun begitu, ada juga nih hal yang tricky dari sekadar mencari likes dan komentar dari orang lain, yaitu ketergantungan kita terhadap respon yang didapatkan.


Saat responnya terlihat ramai sehingga notifikasi kita terasa meledak, hati pun pasti akan merasa senang melihatnya. Namun sebaliknya, kalau respon yang kita dapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan, overthinking pasti akan membunuh kita secara perlahan.


Rasa cukup dari diri sendiri juga sangat berbeda bentuknya untuk setiap orang. Karena, dia tuh nggak muncul dari angka doang, tapi juga dari kesadaran kalau nilai kita itu tidak ditentukan oleh apa yang terlihat.


Bahkan terkadang, kita memang memerlukan momen diam untuk sadar bahwa nggak harus selalu dilihat oleh orang lain untuk merasa berharga.


Menemukan keseimbangan antara keduanya itu sebenarnya penting, seperti halnya validasi online yang nggak selamanya buruk. Tapi, harus selalu diingat untuk tidak menjadikan tempat tersebut sebagai sumber utama kebahagian, ya.


Kenapa begitu? Karena, pada akhirnya yang paling tulus menghargai kita itu bukan mereka yang memberikan likes ataupun komentar, tapi justru diri kita sendiri yang bisa menghargai dengan cara mencukupkan diri dari validasi digital apapun.

Ketika Self-Worth Diukur dari Angka di Layar

Saat ini, kita hidup di era angka yang sudah bisa berbicara, di mana jumlah followers, views, dan likes sering dijadikan tolak ukur atau standar sukses, padahal sama sekali nggak ada hubungannya dengan kualitas hidup seseorang.


Akhirnya, banyak dari kita yang jadi menilai diri dari seberapa terlihat atau disukai seseorang tersebut dari tampilannya di dunia maya.


Masalahnya, angka itu sama sekali bukan cerminan diri yang sebenarnya. Ia cuma representasi kecil dari sebuah momen yang sesaat tampil, bukan ukuran nilai, niat, atau perjalanan yang kamu jalani.


Biasanya orang tuh melupakan kenyataan bahwa sebenarnya, jika kita tidak mendapatkan hasil yang baik itu bukan karena apa yang telah kita bagi kurang layak untuk diperhatikan, tetapi karena algoritma sosial media yang biasanya tidak berpihak dengan kita.


Kalau kita terus menilai diri dengan angka-angka tersebut, suatu saat kita pun pasti akan capek mengejar sesuatu yang nggak akan pernah stabil sampai kapanpun.


Begitu pula sebaliknya, ketika kita mulai bisa menggeser fokus dari “berapa banyak yang memberikan likes dan komentar?” menjadi “yang aku bagikan ini bermakna ke orang lain nggak, ya?” Di situ lah kita membangun fondasi self-worth yang lebih nyata dan tahan lama.

Apakah Digital Validation Selalu Buruk?

Sebenarnya nggak juga.


Karena sesuai faktanya, keinginan untuk diakui itu sebenarnya sangat manusiawi. Seperti halnya setiap orang yang butuh untuk merasa dilihat, didengar, dan dihargai, baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya.


Jadi, validasi online itu nggak serta merta menjadi suatu hal yang negative. Karena terkadang, satu komentar positif yang isinya menyanjung aja bisa menjadi suatu kebahagiaan dan membuat seseorang bisa terus berkembang ke arah yang lebih baik.


Namun seperti yang telah kita ketahuui, masalah akan muncul ketika kita muai bergantung sepenuhya pad apengakuan tersebut. Seperti ketika motivasi kita yang mulai berubah dari yang awalnya, “aku hanya ingin berbagi,” menjadi “aku pengen diakui sama banyak orang.”


Di titik itu, validasi digital akan berubah menjadi sebuah jebakan yang membuat kita gelisah kalau nggak ada seorang pun yang datang meramaikan apa yang telah kita upload, dan berakhir membuat kita membandingkan diri dengan apa yang orang lain miliki.


Kuncinya itu bukan menghapus validasi yang telah biasa kita dapatkan sekali langsung, tapi coba untuk mulai menyehatkan cara kita memaknai segala sesuatu, dan bisa membedakan antara healthy validation dengan toxic validation, seperti berikut:
  • Healthy validation itu terjadi saat kita tetap bisa bahagia dan percaya diri meskipun ada kalanya kita tidak mendapatkan apresiasi apapun dari seseorang. Sedangkan,
  • Toxic validation muncul ketika kebahagiaan kita itu sepenuhnya bergantung pada pujian dan angka yang orang-orang berikan lewat sosial media.

Cara Lepas dari Ketergantungan Validasi Digital

Dalam hal ini, lepas dari ketergantungan validasi digital itu bukan berarti harus hilang sepenuhnya dari dunia maya, atau langsung uninstall semua media sosial yang kita miliki.


Justru, yang paling penting adalah bagaimana cara kita menggunakannya, benar atau tidaknya, dan siapa yang memegang kendali dalam hal itu, kita atau algoritma?


Maka dari itu, ada beberapa hal yang bisa digunakan jika kita ingin mulai mencoba melepas diri dari ketergantungan validasi digital, antara lain:

1. Kurangi waktu nge-scroll tanpa tujuan.

Coba deh mulai atur batas waktu harian buat buka media sosial supaya tidak kebablasan lagi, atau bisa gunakan fitur screen time. Karena terkadang, kita tuh nggak sadar sudah ngabisin waktu berjam-jam cuma buat nyari satu hal sederhana seperti pengakuan orang lain.

2. Fokus ke karya yang dibagikan, bukan angka.

Kalau kita suka membagikan sesuatu, entah itu untuk tulisan, foto, atau video, jadikan proses yang kita lalui tersebut sebagai bentuk ekspresi, bukan ajang pembuktian. Nikmati perjalanan bikin sesuatu yang memang kita sukai tanpa terus mikirin seberapa banyak orang yang akan melihatnya.

3. Temukan validasi sesungguhnya di dunia nyata.

Ketika kita ngobrol secara langsung dengan orang lain, ketawa bareng teman, ataupun dapat pelukan hangat dari orang tersayang, sebenarnya itu lah bentuk validasi yang jauh lebih tulus dan nyata dibandingkan dengan angka yang kita dapatkan di layar.

4. Kenali dirimu yang tanpa filter digital apapun.

Ingat satu hal, bahwa kita itu tetap berharga meskipun apa yang telah kita bagi ke orang lain nggak trending dengan banyak views, likes, maupun komentar.


Terkadang, yang kita butuhkan itu sebenarnya cuma diam sebentar dan sadar bahwa kita itu sudah lebih dari cukup, bahkan tanpa penilaian dari siapa pun.

Era Digital = Era Eksistensi?

Di masa lalu, eksistensi itu diukur dari apa yang telah kita lakukan. Tapi sekarang, eksistensi sering kali ditentukan dari seberapa sering kita terlihat di layar, seolah nilai dari suatu momen tersebut baru sah kalau disaksikan oleh orang lain.


Tanpa sadar, banyak orang jadi mulai mengaitkan keberadaan diri dengan visibility di dunia maya. Seperti contohnya, kalau nggak aktif, takut akan dilupakan, dan kalau nggak update, takut dianggap nggak berkembang.


Padahal, eksistensi seseorang yang sesungguhnya itu bukan tentang dilihat oleh orang lain, tapi tentang kehadiran mereka secara nyata.


Ada banyak hal yang tetap berharga meski tidak diabadikan dalam bentuk foto atau video. Seperti, kehangatan obrolan dengan teman, perjalanan pulang di sore hari, atau pun sekadar duduk menikmati kopi tanpa gangguan notifikasi, semua itu juga bentuk nyata dari keberadaan kita. 


Hidup itu nggak selalu harus disiarkan untuk bisa memiliki bermakna. Kadang, justru momen yang nggak dibagikan itu yang terasa paling tulus dan paling nyata.


Jadi, mungkin sudah saatnya kita mau berhenti sejenak, melepaskan tekanan untuk selalu terlihat, dan mulai kembali merasakan apa itu artinya benar-benar hadir, tanpa butuh validasi dari siapa pun.

    Menawar, negosiasi, murah

    Tanya Aja Dulu

    Susah dan Gugup Ngomong di Depan Umum? Konsul Aja Dulu

    Tanya Admin


    Kesimpulan

    Di era digital seperti sekarang, validasi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Seperti halnya likes, komentar, dan views yang sering kali terasa seperti nilai diri, padahal sebenarnya tidak selalu begitu.


    Rasa ingin diakui oleh orang lain itu merupakan hal yang manusiawi, tapi yang penting adalah bagaimana kita tidak membiarkannya mengambil alih kendali atas harga diri kita sendiri.


    Kita bisa tetap menikmati dunia digital tanpa kehilangan koneksi dengan realitas, belajar menyeimbangkan antara apresiasi online, dan penghargaan diri yang sejati. Karena di balik layar, ada kehidupan nyata yang jauh lebih penting dari sekadar angka dan notifikasi.


    Kita nggak harus berhenti dari dunia digital, tapi kita bisa belajar untuk tidak hidup karena dunia digital.

    “The more you seek validation from others, the less you find it in yourself.”
    Gambar kak Amelia Miftakhus Sa'adah

    Amelia Miftakhus Sa'adah

    Better late than never try

    Writer Notes

    Notes

    Fenomena digital validation kini jadi bagian dari keseharian, terutama bagi generasi muda yang tumbuh di tengah budaya “share everything.” Penulis melihat adanya pergeseran makna pengakuan, dari keinginan untuk dihargai menjadi kebutuhan untuk diakui secara publik. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk memahami kenapa manusia modern begitu mudah terjebak dalam lingkaran validasi digital, serta bagaimana cara menemukan rasa cukup yang sesungguhnya tanpa bergantung pada dunia maya.

    Komentar