admin@dialogika.co +62 851 6299 2597
 oversharing, media sosial, budaya oversharing, privasi digital, komunikasi digital, fenomena gen z

Kaburnya Batas Privasi: Mengenal Budaya Oversharing di Media Sosial

Budaya Oversharing - Ada nggak sih yang merasa kalau beberapa tahun terakhir ini media sosial menjadi ruang yang sangat terbuka? Sekarang, media sosial bukan lagi sekadar ruang berbagi informasi saja, tapi juga panggung bagi penggunanya untuk membuka kehidupan paling personal mereka. Mulai dari cerita masalah kerjaan, pertemanan, hingga hubungan dengan pasangan ataupun keluarga. Semua itu terbuka lebar dan bisa dikonsumsi secara bebas oleh siapapun. Fenomena ini dikenal dengan istilah oversharing.

  • Key Takeaways
  • Oversharing di Media Sosial
  • Efek Media Sosial
  • Batas Privasi Digital
  • Komunikasi Digital
  • Fenomena Gen Z
           

Dari Cerita Semata Menjadi Budaya Luar Biasa

Fenomena oversharing kini bisa dikatakan sudah menjadi budaya tersendiri, terutama di kalangan generasi muda. Budaya ini lahir dari rasa keterbukaan dan kejujuran yang semakin meningkat di media sosial. Sebenarnya, keterbukaan itu bukanlah hal yang salah. Justru itu menandakan bahwa generasi saat ini memiliki keberanian untuk jujur. Namun di sisi lain keterbukaan yang berlebihan bisa membawa dampak negatif, salah satunya hilangnya privasi.

Saat seseorang terbiasa membagikan kehidupannya di media sosial, tanpa sadar mereka akan hidup dalam sorotan publik. Lama-kelamaan, orang akan sulit membedakan mana cerita yang bisa dibagikan dan harus disimpan sendiri. Lebih parahnya lagi, sebagian orang mulai menggantungkan harga dirinya pada respons audiens. Jika unggahannya tidak mendapatkan respons yang diharapkan, mereka bisa merasa diabaikan. Akhirnya mereka akan merasakan kelelahan emosional dan membuat mereka kehilangan dirinya sendiri.


Belajar Memiliki Batasan

Berbagi cerita itu sah-sah saja, selama tahu mana batasan jelasnya. Keterbukaan dan kejujuran adalah hal yang baik, tapi kalau berlebihan justru akan menjadi bumerang sendiri. Selain tak baik untuk kesehatan mental seseorang, oversharing juga bisa menimbulkan drama baru karena cerita yang dibagikan bisa ditafsirkan berbeda oleh orang lain.

Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghindari oversharing:

1. Kenali tujuan sebelum posting

Sebelum mengunggah sesuatu, coba tanya pada diri sendiri: “Aku benar-benar ingin berbagi atau menginginkan perhatian dan validasi semata?”
Hindarilah mengunggah sesuatu hanya karena ingin mendapatkan perhatian saja karena itu bisa bikin kamu terjebak dalam tekanan emosional yang menyulitkan.

2. Jangan langsung unggah, beri jeda

Terkadang dorongan untuk mengunggah sesuatu di media sosial itu terjadi saat sedang emosi. Maka sebelum mengunggah sesuatu, cobalah untuk beri jeda sejenak. Rasakan dulu emosinya, lalu redakan dahulu. Jangan biarkan emosi sesaat mengendalikan tindakanmu.

3. Simpan sebagian cerita untuk diri sendiri

Tidak semua hal perlu dijadikan konten. Beberapa cerita terkadang cukup untuk kamu simpan sendiri sebagai konsumsi pribadi. Ingat, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana orang akan mengonsumsi dan menafsirkan kontenmu itu. So, please be wise, guys.

4. Bangun interaksi nyata dengan orang sekitar

Dunia digital memang luas, tapi dunia nyata tetap menjadi ruang yang paling hangat. Cobalah untuk bertemu dan berbincang langsung dengan orang-orang di sekitarmu. Terkadang yang kamu butuhkan bukan banyaknya respons audiens di media digital, tetapi satu telinga yang bisa mendengarkan secara nyata.

Penutup

Fenomena oversharing ini menjadi tanda bahwa sebenarnya banyak orang yang belum menemukan ruang aman yang nyata untuk didengar. Akhirnya mereka memilih ruang digital sebagai ruang untuk pelarian dari hal itu. Namun di tengah dunia yang tak pasti ini, menjaga privasi dan kewarasan diri merupakan hal yang perlu diutamakan. Tidak semua hal perlu dibagikan dan diketahui publik. Terkadang menyimpan sebagian kisah hanya untuk diri sendiri adalah cara terbaik yang bisa kamu lakukan.


“You are what you share”


Gambar kak Afifah Rismayanti

Afifah Rismayanti

Boleh takut, tapi jangan lupa berani.

Writer Notes

Notes

Tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap kebiasaan “cerita segalanya” yang kian marak di media sosial. Banyak orang berbagi dengan niat mencari dukungan, tapi justru kehilangan privasi dan ketenangan batin. Penulis ingin mengajak pembaca untuk refleksi bahwa tidak semua hal harus diketahui publik. Menyimpan sebagian cerita untuk diri sendiri bukan berarti menutup diri, melainkan bentuk cinta dan perlindungan terhadap diri sendiri di era yang serba terbuka ini.

Komentar