admin@dialogika.co +62 851 6299 2597
Hustle Culture in Work Life

Hustle Culture: Bagaimana Memengaruhi Gen Z di Tempat Kerja?

Hustle Culture in Work Life - Bayangkan ada seseorang yang bekerja disebuah perusahaan, namun setiap hari datang lebih awal, lembur yang membuatnya pulang larut malam, bahkan saat akhir pekan pun tetap membawa laptopnya kemana-mana untuk menyelesaikan pekerjaannya. Awalnya, memang terlihat produktif dan keren. Tapi, lama-lama jadi sadar bahwa hal tersebut membuat kehilangan banyak waktu untuk sekadar istirahat atau bertemu dengan teman. Hal tersebut tidak jarang terjadi, itulah gambaran nyata dari hustle culture yang kini banyak menjerat Generasi Z di tempat kerja.

  • Key Takeaways
  • Hindari Hustle Culture
  • Ciptakan Cara Kerja Sehat
  • Cari Keseimbangan Produktivitas dan Kesehatan Mental
  • Buat Batasan Kerja
  • Beri Waktu untuk Otak Beristirahat


Apa itu Hustle Culture?

Sekarang ini mulai muncul fenomena yang dikenal sebagai hustle culture. Hustle culture merupakan budaya kerja keras tanpa henti demi mengejar kesuksesan. Tren hustle culture dimaknai sebagai suatu keadaan bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan hingga akhirnya menjadi gaya hidup. Dengan kata lain, tiada hari tanpa bekerja, hingga tak ada lagi waktu untuk kehidupan pribadi. Generasi Z sebagai generasi yang memasuki dunia kerja sering kali menjadi generasi yang paling terpapar budaya ini. Tumbuh dengan paparan media sosial yang penuh dengan narasi “work hard, play later” atau cerita sukses anak muda yang dianggap berhasil karena bekerja tanpa kenal lelah. Akibatnya, banyak dari mereka merasa harus selalu produktif, bergerak cepat, dan tidak boleh kalah dengan rekan sejawat.


Tekanan ini tidak hanya ada dari lingkungan kerja, tetapi juga dari ekspektasi sosial dan perbandingan di dunia digital. Media sosial yang menampilkan pencapaian orang lain sering kali membuat Generasi Z merasa harus mengejar standar yang sama, atau bahkan lebih tinggi. Mereka jadi terdorong untuk bekerja lebih keras, meski tubuh dan pikiran sudah lelah. Dalam jangka panjang, akan membuat mereka sulit membedakan antara kerja keras yang sehat dengan kerja berlebihan yang justru menguras energi dan motivasi.


Dampak dari Hustle Culture

Masalah besar dari hustle culture adalah dampaknya pada kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Generasi Z yang terlalu terjebak dalam pola kerja ini sering mengalami burnout, stres, hingga rasa cemas berlebihan. Tekanan untuk terus bekerja tanpa henti membuat mereka sulit berhenti sejenak, bahkan ada yang mulai kehilangan arah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi seperti ini, pekerjaan bukan lagi menjadi sarana pengembangan diri, tetapi berubah menjadi beban yang melelahkan secara emosional maupun fisik.

 

Dapat lebih jauh lagi, hustle culture menanamkan pola pikir bahwa nilai diri hanya diukur dari seberapa sibuk seseorang. Akibatnya, banyak anak muda merasa bersalah ketika beristirahat atau meluangkan waktu untuk diri sendiri. Mereka terjebak dalam lingkaran “sibuk demi terlihat produktif”, padahal produktivitas yang tidak seimbang justru mengurangi kualitas hidup. Jika dibiarkan terus-menerus, kondisi ini dapat menurunkan motivasi, mengikis kreativitas, dan membuat mereka mempertanyakan makna kesuksesan yang sebenarnya.

Bagaimana Langkah Menghadapi Hustle Culture?

Mengatasi dampak hustle culture membutuhkan pendekatan yang lebih seimbang. Kunci utamanya adalah memahami bahwa produktivitas bukan berarti mengorbankan kesehatan mental. Generasi Z perlu membangun kesadaran bahwa istirahat, self-care, dan batasan waktu kerja adalah bagian penting dari keberhasilan jangka panjang. Organisasi dan perusahaan pun dapat berperan dengan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, mendukung fleksibilitas, serta tidak menjadikan lembur sebagai standar normal.


Untuk menghadapinya, ada beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan oleh Generasi Z untuk menghadapi hustle culture:

Tetapkan batasan kerja

Karena kemudahan teknologi yang membuat pekerjaan bisa diakses kapan dan dimana saja, generasi Z sering kali sulit membedakan antara waktu kerja dan waktu pribadi. Jadi, penting untuk membuat batasan yang jelas, misalnya dengan tidak membalas email atau chat kerja setelah jam tertentu. Dengan cara ini, otak punya waktu untuk beristirahat, tubuh bisa pulih, dan kehidupan pribadi tetap terjaga.

Prioritaskan kesehatan mental

Kesuksesan tidak akan ada artinya apabila dicapai dengan mengorbankan kesehatan mental. Jadi, luangkan waktu untuk aktivitas yang menenangkan. Olaharaga ringan atau sekadar meluangkan waktu untuk hobi bisa membantu menurunkan stress. Aktivitas sesederhana itu juga dapat memberi ruang bagi pikiran untuk bernafas dan menjaga keseimbangan emosional, sehingga energi positif tetap terjaga untuk menghadapi pekerjaan.

Belajar mengatakan tidak

Dalam budaya hustle, sering kali ada dorongan untuk selalu mengambil semua peluang yang datang, padahal hal tersebut sebenarnya membebani diri sendiri. Tidak semua kesempatan cocok dengan kapasitas maupun tujuan hidup kita. Maka, belajar berkata “tidak” bukan berarti malas atau tidak ambisius, melainkan tanda bahwa kita menghagai waktu, energi, dan kesehatan. Menolak hal-ha yang tidak penting dapat membuat kita lebih fokus pada pekerjan yang benar-benar bermakna dan berdampak.

Gunakan teknik manajemen waktu

Manajemen waktu adalah kunci agar kita tidak terjebak dalam pekerjaan berlebihan. Dengan menggunakan metode seperti time blocking bisa membantu dalam membagi waktu menggunakan blok khusus untuk setiap aktivitas, sehingga fokus tidak terpecah. Sementara itu, Eisenhower Matrix dapat membantu memilah mana yang penting dan mendesak, serta mana yang sebaiknya ditunda atau diabaikan. Dengan teknik ini, pekerjaan jadi lebih terstruktur, beban terasa ringan, dan hasil lebih maksimal.

Cari lingkungan kerja yang mendukung

Tidak semua perusahaan memiliki budaya kerja yang sehat. Jadi, penting bagi Generasi Z untuk mencari atau menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung keseimbangan hidup. Lingkungan yang baik adalah yang menghargai jam kerja wajar, memberi ruang istirahat, serta tidak mengukur nilai karyawan hanya dari seberapa sibuk mereka. Bekerja di perusahaan dengan budaya positif bukan hanya menjaga kesehatan mental, tetapi juga membantu kita berkembang secara profesional tanpa harus merasa terbebani.
Menawar, negosiasi, murah

Tanya Aja Dulu

Susah dan Gugup Ngomong di Depan Umum? Konsul Aja Dulu

Tanya Admin


Penutup

Hustle culture merupakan budaya yang membuat seseorang menganut workholism atau gila kerja. Membuat seseorang berpikiran bahwa kerja keras tanpa henti akan membuat lebih cepat encapai kesuksesan, bahkan membuat dirinya merasa tidak mau kalah dengan teman sejawat. Hustle culture dapat membuat seseorang akan kehilangan waktunya untuk diri sendiri, bahkan hanya untuk beristirahat ataupun bertemu dengan teman. Maka, sebagai Generasi Z yang mulai masuk dalam dunia kerja, usahakan untuk menghindari budaya hustle culture untuk menjaga pikiran dan mental tetap aman supaya tetap dapat terjaga dalam menghadapi pekerjaan yang ada.


Gambar kak Galuh Karnia Sasmitya

Galuh Karnia Sasmitya

Keberhasilan berasal dari percaya pada diri sendiri, semangat!

Writer Notes

Notes

Tulisan ini dibuat untuk memberikan perspektif tentang bagaimana hustle culture dapat memengaruhi generasi muda, khususnya Generasi Z, dalam dunia kerja. Banyak dari mereka yang ingin cepat sukses, namun tanpa sadar terjebak dalam pola kerja berlebihan yang melelahkan. Artikel ini bisa menjadi pengingat bahwa kesuksesan sejati tidak harus dicapai dengan mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan pribadi.

Komentar