
Gen Z dan Dunia Kerja: Passion, Pressure, dan Paycheck
Gen Z, Dunia Kerja - Bayangin kamu lagi duduk di meja kerja, layar laptop terbuka, notifikasi WhatsApp kerja nggak berhenti bunyi. Di pojok kanan bawah layar, muncul reminder: “Deadline besok pukul 10.00 WIB.” Gaji bulan ini sudah cair, saldo rekening aman untuk kebutuhan dasar. Tapi entah kenapa, hati masih bertanya:“Sebenernya aku beneran mau kerja, atau butuh gaji aja?”
Gen Z tumbuh di persimpangan: dibesarkan dengan nilai bahwa kerja keras adalah segalanya, sekaligus disuguhi narasi kebebasan, kreativitas, dan peluang untuk "hidup dari passion".
- Key Takeaways
- Gen Z dan Segudang Ekspektasinya
- Realita Gen Z di Industri
- Elemen Utama Pembangun Mental Gen Z
- Langkah Bijak untuk Masalah
- Refleksi dan Evaluasi
Gen Z dan Ekspektasinya
Generasi sebelum kita mungkin lebih simpel dalam memandang dunia kerja: kerja ya buat hidup. Titik. Yang penting ada gaji, dapur ngebul, dan keluarga bisa makan. Tapi Gen Z lahir dan tumbuh di era yang berbeda. Kita disuguhi informasi dari segala arah, melihat orang lain sukses dengan jalan yang unik kayak jadi YouTuber, digital nomad, freelancer kreatif, atau bahkan pengusaha muda.
Akibatnya, standar kebahagiaan kita di dunia kerja juga berubah. Bukan lagi sekadar “asal ada pekerjaan tetap”, tapi juga “apakah pekerjaan ini sesuai dengan nilai, hobi, dan minatku?”
Namun, di balik idealisme itu, realita tetap ada. Tagihan listrik tetap datang. Biaya kos, cicilan motor, hingga kuota internet nggak bisa dibayar dengan passion doang. Maka, Gen Z pun sering merasa terjebak dalam dilema: antara mengejar makna atau memenuhi kebutuhan.
Pergumulan Gen Z dengan Realita di Dunia Kerja
Banyak dari kita akhirnya berada dalam posisi yang membingungkan:
- Kalau kerja cuma ngejar gaji → takut jadi robot. Setiap hari kerja, pulang, tidur, ulang lagi tanpa rasa puas.
- Kalau ngejar passion doang → dibilang nggak realistis. Orang tua menganggap kita manja, teman-teman menyindir, “Kerja tuh buat hidup, bukan buat hobi.”
- Kalau nurutin pressure → stres, karena sering kali jalan yang kita ambil bukan dari hati, melainkan hasil dorongan orang lain.
Dilema ini bikin Gen Z rentan burnout lebih cepat, bahkan ketika karier baru dimulai. Data McKinsey (2022) menunjukkan, Gen Z adalah generasi dengan tingkat burnout tertinggi dibanding generasi sebelumnya. Sebabnya? Ekspektasi tinggi, perasaan ingin relevan, tapi juga dibebani realita ekonomi yang berat.
3 Elemen Utama yang Membangun Mental Gen Z dalam Berkarir
Passion: Nyari Makna dalam Pekerjaan
Gen Z tumbuh dengan pesan motivasi: “Kerja itu harus sesuai passion biar nggak terasa kerja.” Dari seminar kampus, konten motivator di YouTube, sampai thread panjang di Twitter, pesan itu begitu sering kita dengar.
Dan memang benar, passion bisa bikin kerja terasa lebih menyenangkan. Kalau suka desain, kita bisa betah berjam-jam bikin visual. Kalau suka nulis, bikin artikel panjang pun terasa ringan. Passion memberi makna, bukan sekadar gaji.
Tapi masalahnya, nggak semua passion langsung menghasilkan uang. Banyak orang yang hobi menulis, tapi belum tentu bisa langsung jadi penulis profesional. Ada yang suka fotografi, tapi kamera saja masih pinjam ke teman.
Di sini muncul dilema: kita ingin mengejar passion, tapi jalan ke sana nggak selalu jelas. Sementara realita hidup terus menuntut.
Pressure: Ekspektasi dari Luar
Selain passion, ada pressure. Tekanan dari orang tua, keluarga, bahkan masyarakat. Banyak Gen Z yang sebenarnya ingin menekuni bidang kreatif, tapi merasa “gagal” karena keluarga hanya menganggap sukses kalau jadi PNS, dokter, atau kerja di perusahaan besar.
Media sosial juga menambah tekanan. Kita melihat teman-teman sebaya posting pencapaian: kerja di startup unicorn, dapat beasiswa luar negeri, atau gaji dua digit di usia 23. Perasaan “kok aku ketinggalan?” makin kuat.
Akhirnya, banyak Gen Z memilih jalur yang “aman” untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Padahal, dalam hati mungkin mereka tahu: ini bukan jalan yang benar-benar mereka mau.
Paycheck: Realita yang Gak Bisa Ditawar
Sekeras apapun kita bicara passion atau idealisme, payroll tetap bicara. Kita butuh uang untuk makan, bayar sewa, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dan payroll ini sering jadi faktor penentu. Banyak Gen Z yang mengaku, awalnya ingin kerja sesuai passion. Tapi ketika tawaran gaji besar datang, passion mendadak bisa ditunda. Kita berkata pada diri sendiri: “Nggak apa-apa deh, kerja ini dulu. Passion bisa nanti-nanti.”
Masalahnya, “nanti-nanti” itu sering jadi “selamanya”. Kita terjebak di pekerjaan yang sebenarnya tidak membuat bahagia, tapi sulit keluar karena sudah nyaman dengan penghasilan.
Langkah Bijak Buat Para Gen Z
Sebenarnya, kita nggak harus memilih salah satu: passion, pressure, atau payroll. Tantangannya adalah mencari zona tengah.
Bekerja di bidang yang mungkin bukan passion utama, tapi bisa memberi waktu atau ruang untuk mengembangkan passion di luar jam kerja. Misalnya: kerja sebagai staff administrasi untuk kebutuhan finansial, sambil mengembangkan bisnis ilustrasi kecil-kecilan di waktu luang.
Atau, bekerja di bidang yang memenuhi ekspektasi keluarga (pressure), tapi tetap melibatkan nilai atau skill yang kita sukai. Contohnya: ingin orang tua bahagia karena kita kerja di bank, tapi kita pilih posisi yang berhubungan dengan branding atau komunikasi yang sesuai minat.
Zona tengah ini bukan kompromi murahan. Justru, di sinilah Gen Z belajar bahwa hidup dan karier adalah soal merangkai, bukan memilih hitam-putih.
3 Tujuan di Jalan yang Sama
Kita sering menganggap passion, pressure, dan payroll sebagai tiga jalan yang saling bertentangan. Padahal, dalam hidup nyata, ketiganya bisa berjalan berdampingan.
Mungkin kita mulai dari payroll—karena butuh bertahan hidup. Dari sana, kita perlahan mengurangi tekanan (pressure) dengan belajar komunikasi dan menegosiasikan pilihan kita pada keluarga. Lalu, kita sisipkan passion dalam perjalanan karier, sedikit demi sedikit sampai akhirnya passion itu bisa menghasilkan sendiri.
Bukan berarti semua orang akan berhasil menemukan titik idealnya, tapi proses ini membuat kita lebih realistis dan dewasa.

Penutup
Gen Z sering dicap “manja” karena ingin kerja sesuai passion, atau dianggap “nggak tahan banting” karena gampang burnout. Tapi mungkin sebenarnya kita hanya lebih jujur pada diri sendiri: kita nggak mau hidup sekadar bekerja tanpa makna.
Dilema antara passion, pressure, dan payroll memang nyata. Tapi bukan berarti kita harus memilih satu dan mengorbankan dua lainnya. Justru, perjalanan karier adalah tentang merangkai ketiganya dalam porsi yang paling sesuai dengan hidup kita.
Hidup bukan hanya soal mencari uang, tapi juga soal mencari diri. Bekerja bukan hanya soal memenuhi ekspektasi orang lain, tapi juga membangun cerita kita sendiri.Dan di balik semua dilema itu, mungkin inilah yang membuat Gen Z unik: kita berani bertanya pada diri sendiri, “Apa arti kerja buatku?” 🌱✨
Steve Jobs “The only way to do great work is to love what you do.”
Writer Notes
Notes
Tulisan ini saya buat karena banyak teman sebaya, bahkan saya sendiri, yang sering terjebak di persimpangan antara passion, pressure, dan payroll. Saya ingin menunjukkan bahwa dilema ini bukan tanda kelemahan, tapi bagian dari proses tumbuh. Mudah-mudahan artikel ini bisa jadi teman refleksi buat kamu yang sedang bingung menentukan jalan, sekaligus pengingat bahwa nggak ada satu jalan pasti dalam karier. Yang ada hanyalah jalan yang paling sesuai dengan kita masing-masing.