Apa Itu Online Persona?
Kalau kalian masih belum mengerti dengan apa yang dimaksud mengenai online persona, kita bisa menyederhanakannya sebagai versi diri yang kita tampilkan di dunia maya.
Entah itu lewat apa yang telah kita unggah, cara kita menulis caption dan memberikan komentar, atau cara kita berinteraksi dengan orang lain di internet.
Terkadang juga, online persona itu terbentuk secara nggak sadar namun juga nggak selalu palsu. Kita semua punya sisi lain yang biasanya lebih gampang keluar di ruang yang terasa aman dan nyaman untuk diri kita tanpa peduli dengan penilaian orang lain.
Dan biasanya, bagi kebanyakan orang yang merasa tidak memiliki tempat di dunia nyata, beberapa tempat di media sosial atau dunia online adalah ‘rumah’ nyaman mereka.
Misalnya nih, kita lebih milih posting sisi lain yang lebih ceria, percaya diri, atau bahkan lebih santai di media sosial.
Seperti ketika kita menunjukkan sisi produktif kita di LinkedIn, sisi lucu kita di Instagram, atau bahkan sisi ekspresif dan hebohnya di Twitter. Padahal, di dunia nyata kita mungkin pendiem, serius, atau nggak suka buat terlalu banyak bicara.
Itu semua terjadi karena bentuk persona kita yang terbentuk oleh konteks sosialnya berbeda. Dunia digital memang memungkinkan kita untuk dapat menampilkan potongan diri yang bisa kita pilih, bukan secara keseluruhan. Dan itu manusiawi.
Yang terpenting adalah kita harus sadar kalau persona online yang kita bentuk itu merupakan sebagian kecil dari diri kita, dan bukan sepenuhnya. Karena, kalau kita terlalu lama buat jadi orang lain dan memaksakan diri di internet, itu bisa bikin bingung mana versi diri kita yang sebenarnya dan membuat kita kehilangan jati diri.
Kenapa Kita Bisa Lebih Ekstrovert di Dunia Maya?
Pernah nggak sih kamu ngerasa lebih gampang buat ngomong di grup chat, lebih gampang buat ngutarain pendapat di story, ataupun bikin thread Panjang di media sosial kayak X dan Threads? Padahal mah, kalau disuruh ngomong langsung di depan orang rasanya kaku banget.
Nah, ternyata ada alasan psikologis dan sosialnya loh, kenapa hal ini bisa terjadi:
1. Ada rasa aman di balik layar.
Dunia maya memberikan jarak antara kita dengan orang lain yang tidak mengetahui apa-apa. Kitajadi bisa punya waktu buat mikir sebelum menjawab sesuatu, nggak perlu takut buat disela, dan risiko penolakan akan terasa lebih kecil.
Jarak ini membuat banyak orang akan merasa lebih bebas untuk mengutarakan pendapat mereka secara pribadi, karena mereka nggak perlu melihat ekspresi orang-orang tersebut secara langsung sehingga membuatnya merasa gugup saat berbicara.
2. Kita punya kendali atas citra diri.
Di dunia digital, kita bisa memilih kapan mau muncul, ngomong apa, dan sejauh mana mau terbuka. Kita juga bisa menghapus, mengedit, ataupun mengatur lagi nada tulisan kita sesuka hati jika dirasakan ada yang tidak wajar.
Intinya, melalui dunia online, kita bisa mengatur versi diri apa yang ingin kita tampilkan di depan orang lain.
Dan dari control ini pula, orang yang aslinya pemalu dan tidak berani bicara di depan umum akan jadi lebih percaya diri karena mereka bisa ‘mengatur panggungnya’ sendiri.
3. Respons yang nggak langsung dan lebih aman secara emosional.
Di dunia nyata, seperti yang telah hampir setiap orang alami, ketika kita berbicara di depan orang lain, apapun reaksi yang mereka berikan akan terlihat secara langsung.
Akan tetapi, di dunia online, kita jadi punya lebih banyak waktu dalam menghadapi reaksi itu, entah melalui komentar, DM, maupun like dan mention. Jadi, tekanan sosialnya pun lebih rendah dan bikin kita lebih berani untuk terbuka.
4. Lingkungan sosialnya lebih fleksibel.
Terkadang, di dunia nyata kita banyak yang tidak memiliki banyak teman dan satu frekuensi. Sedangkan di dunia maya, kita justru bisa menemukan berbagai komunitas yang punya minat sama.
Ketika ngobrol pun, kita juga nggak akan menemukan tatapan langsung mereka, gesture yang canggung, ataupun tekanan situasi sosial yang bisa bikin kita gugup.
Sehingga, ketika kita melalui hal tersebut, kita akan merasa diterima di sana, dan membuat sisi ekstrovert kita otomatis muncul.
5. Validasi sosial yang cepat dan nyata.
Apa yang kita dapatkan di dunia digital, seperti like, komentar, maupun repost mungkin kelihatannya memang sepele. Akan tetapi bagi otak, hal-hal kecil tersebut merupakan bentuk pengakuan sosial yang memberikan validasi murni untuk kita.
Karena, setiap kali postingan kita mendapatkan respon yang positif, otak akan melepaskan dopamine, suatu hormon yang bikin kita merasa dihargai.
Sehingga akhirnya, kita akan merasa semakin nyaman dan jadi lebih terbuka secara online ketimbang menceritakannya secara langsung kepada teman in real life.
Makanya, kalau banyak orang yang terlihat super percaya diri di ruang digital tapi justru pendiam di dunia nyata, itu merupakan hal yang wajar, kok.
Bukan karena mereka sedang berpura-pura, tapi justru karena setting-nya beda. Dunia digital memang dirancang supaya kita jadi lebih mudah untuk terkoneksi, tapi juga penting buat sadar kapan sisi berani di online itu bisa dibawa ke dunia nyata, biar nggak cuma hidup di balik layar.
Apakah Salah Punya Dua Versi Diri: Online vs Offline?
Jawabannya adalah: nggak salah sama sekali.
Punya dua versi diri, satu di dunia nyata, dan satunya lagi di dunia maya, merupakan hal yang sangat manusiawi. Kita semua menyesuaikan diri tergantung situasi dan ruang tempat kita berada.
Coba deh pikirin, kita nggak mungkin kan bersikap sama persis waktu lagi nongkrong sama teman, dibandingkan saat lagi presentasi di depan dosen atau atasan? Nah, online persona juga sama kayak gitu, yang bikin beda cuma panggung digitalnya aja.
Dan yang jadi masalah itu bukan karena kita punya dua versi diri, tapi ketika kita ngerasa harus “memalsukan diri” demi diterima.
Contohnya kayak kalau di dunia nyata kita sebenarnya pendiam, tapi di online kita terpaksa harus tampil hiperaktif karena takut nggak dianggap “asik”, itu akan membuat kita capek secara mental, sehingga ama-lama kita bisa kehilangan arah dan jati diri.
Jadi, nggak perlu merasa bersalah lagi kalau kita lebih talkative di media sosial tapi jadi lebih pendiam saat di dunia nyata. Karena itu bukan berarti kita fake, tapi justru karena kita merupakan manusia yang adaptif, fleksibel, dan sedang belajar menyeimbangkan diri di dua dunia, yaitu yang nyata dan yang digital.
Ketika Online Persona Terlalu Dominan
Di awal, punya online persona itu mungkin terasa menyenangkan, karena kita bisa jadi versi terbaik dari diri kita. Tapi tanpa sadar, ketika saking dalamnya kita menyelam di dunia online, diri kita yang berada di sana tersebut akan mulai mengambil alih.
Misalnya nih, ketika kita merasa harus selalu terlihat percaya diri di story, padahal aslinya lagi capek banget. Atau ketika kita takut sama orang yang bakal bilang kalau kita berubah karena kita tiba-tiba diam.
Nah, itu artinya, di titik ini online persona kita mulai terlalu dominan yang jika terus dibiarkan bisa menimbulkan dampak buruk tanpa kita sadari, antara lain:
1. Kita Jadi Takut Kelihatan “Nggak Sempurna”
Ketika kita terlalu fokus dalam membangun citra online, kita jadi sering lupa bahwa hidup itu berantakan. Sedangkan, dunia digital sendiri jarang memberi ruang buat “ketidaksempurnaan” yang kita miliki selama ini.
Sampai akhirnya, kita jadi cenderung menampilkan sesuatu yang “aman dilihat,” bukan yang jujur mengenai diri kita sendiri. Padahal, sisi manusiawi yang kita miliki itu justru ada di sana, yaitu di setiap kekurangan yang dengan sengaja kita sembunyikan.
2. Perbandingan Jadi Racun Halus
Scroll sebentar aja, langsung muncul teman yang baru liburan, karier orang lain yang terlihat lebih sukses, atau hidup yang tampak lebih rapi dari kita.
Sehingga tanpa sadar, kita jadi mulai membandingkan versi real life kita yang penuh perjuangan dengan highlight reel orang lain di dunia maya, sampai menghasilkan rasa minder, cemas, dan kadang kehilangan rasa syukur yang kita miliki.
3. Overthinking Setiap Interaksi Digital
Orang yang mulai hidup terlalu lama di dunia online seringkali membaca segala sesuatu terlalu dalam.
Seperti contohnya ketika sedang membaca komentar netral pun, akan bisa terasa seperti sindiran yang menohok, atau suatu keheningan yang akan dianggap sebagai penolakan. Padahal, nggak semua hal di dunia maya punya makna yang sebesar itu, tetapi kita aja yang sudah terlalu larut di sana.
Intinya, online persona itu seharusnya jadi ekstensi dari diri kita, bukan justru jadi versi palsu yang menelan jati diri aslinya.
Jadi, kalau dunia maya-mu suatu saat mulai terasa lebih nyata dari dunia sebenarnya, mungkin itu tanda bahwa kamu perlu pause, yang di mana bukan untuk menghapus identitas digitalmu, tapi untuk reconnect sama diri sendiri supaya tidak kehilangan jati diri.
Gimana Menjaga Keseimbangan antara Diri Online dan Diri Nyata?
Hidup di era digital bikin kita punya dua versi diri, yaitu yang tampil di layar dan yang hidup di dunia nyata.
Keduanya bisa berjalan berdampingan kalau kita tahu caranya menyeimbangkan. Karena, kalau salah satu mulai terlalu dominan, kita malah bisa kehilangan arah, entah yang jadi terlalu terikat sama dunia online, atau justru ngerasa nggak nyambung sama realita yang sebenarnya.
Pertama, penting banget buat menyadari kalau dunia online itu kurasi, bukan kenyataan penuh.
Apa yang kita lihat di media sosial hanyalah potongan terbaik dari hidup orang lain yang tampak indah, teratur, dan bahagia. Padahal di balik layar, mereka juga memiliki hari buruk, stres, dan rasa cemas yang sama seperti kita.
Lalu, coba biasakan meluangkan waktu untuk benar-benar offline.
Nggak perlu ekstrem sampai uninstall semua aplikasi, kok. Tapi cukup beri jeda sejenak, misalnya satu jam tanpa HP sebelum tidur, atau satu hari di akhir pekan tanpa notifikasi. Momen hening ini sangat penting buat “nyambung ulang” sama diri sendiri, untuk dapat mendengarkan apa yang kita rasakan tanpa distraksi dari layar.
Selain itu, jangan lupa untuk membangun relasi nyata di luar dunia digital.
Obrolan langsung, tawa tanpa emoji, dan pertemuan tanpa filter, itu punya energi yang berbeda yang biasanya kita temukan di dunia maya. Hubungan yang tulus akan membuat kita merasa hadir sepenuhnya, bukan cuma “terhubung secara sinyal.”
Terakhir, belajarlah untuk tampil apa adanya, bukan sempurna.
Kamu nggak harus selalu punya postingan keren atau opini cerdas biar dianggap menarik. Orang justru lebih tertarik sama keaslian, mengenai hal-hal kecil yang jujur dan apa adanya. Di dunia yang serba dikurasi seperti ini, jadi diri sendiri justru jadi hal yang paling berani.
Intinya, menjaga keseimbangan antara diri online dan diri nyata itu bukan tentang harus memisahkan keduanya, tapi tentang memastikan keduanya tetap berjalan dalam harmoni.
Writer Notes
Notes
Sebagai generasi yang tumbuh bersama menggunakan media sosial, kita sering lupa kalau dunia maya itu seharusnya cuma jadi sebagian kecil dari apa yang kita miliki di hidup kita. Dalam artikel ini, penulis bukan ingin menyalahkan siapa-siapa, tapi hanya ingin mengingatkan bahwa boleh kok ingin tampil berbeda di online, tapi jangan sampai lupa sama siapa diri kita yang sebenarnya, karena dalam dunia nyata yang kita miliki, akan tetap menjadi tempat terbaik buat bertumbuh, menerima kesalahan, dan ngerasain hidup tanpa filter atau kepura-puraan.